KANAL24, Taiwan – Ada sebelas alat untuk membangun merek, yaitu public relations and press releases, sponsorships, clubs dan consumer communities, factory visits, trade shows, event marketing, public facilities, social cause marketing, high value for the money, founder’s or a celebrity personality, dan mobile phone marketing (Kotler and Keller, 2014). Kali ini penulis membahas salah satu alat membangun merek, yaitu factory visits (kunjungan perusahaan). Sarana ini menurut penulis, sangat tepat memperkenalkan merek kepada masyarakat. Hal ini berawal dari pengalaman penulis semasa kuliah S1 (mengunjungi salah satu industri percetakan di Surabaya, lalu saat penulis S2 mengunjungi industri mie instant). Ketika penulis menempuh studi S3 di Taiwan saat ini, kegiatan factory visits juga tidak lepas dari agenda perkuliahan.
Hampir dua tahun penulis tinggal di daerah Kaohsiung-Taiwan. Sebenarnya ada beberapa perusahaan yang telah dikunjungi penulis, mulai dari perusahaan yang bergerak di bidang semiconductor sampai industri baja. Namun, baru tiga perusahaan di Taiwan yang masuk dalam daftar 2018 Tourism Taiwan Factory yang telah dikunjungi oleh penulis, yaitu: Taiwan Soya-Mixed Meat Museum (sebuah perusahaan makanan yang dikukus dengan bahan kedelai-disebut dengan lu wei. Makanan ini sangat terkenal di Taiwan. Dengan mengusung healthy and safe eating, pengunjung internasional bisa merasakan sensasinya. Penulis pernah mencoba telur puyuh dan tahu rebus produksi perusahaan ini yang berlabel halal. Rasanya sangat klasik dan enak. Perusahaan ini menyediakan brosur guided tour bagi pengunjung).
Perusahaan yang pernah dikunjungi penulis berikutnya adalah Red Barn Factory & Tours, juga industri makanan dan minuman yang mengolah berbagai varian biji-bijian (grains). Perusahaan ini mengusung tema Red Barn is beyond your imagination. Untuk memperkenalkan merek, mereka membuat tema dan budaya yang kreatif sebagai upaya menarik pengunjung untuk turut merasakan dan menemukan perjalanan dari berbagai varian rasa. Menariknya, perusahaan ini mengundang remaja dan seniman internasional termasuk dari Indonesia untuk menciptakan theme art of grain yang dapat memperkaya production line. Pengunjung dari kalangan keluarga termasuk anak-anak mereka dapat berpetualang mengenal berbagai pengetahuan tentang makanan yang banyak diberi label halal ini. Penulis pernah merasakan minuman apricot, teh, dan sereal wijen hitam dari perusahaan ini, yang rasanya lezat dan menyehatkan badan. Dalam factory tour yang dikemas my red barn paradise, co-created exhibition, pengunjung diajak mengenal berpetualang Bersama Red Barn, dalam kehidupan sehari-hari, millhouse valley, village party hingga celebrations yang semua tempatnya didesain dengan artwork.
Pengunjung diajak bersemangat dalam beraktifitas sehari-hari. Untuk mengingatkan pengunjung ke berbagai tempat, di Red Barn disediakan stempel. Pengunjung bisa melakukan stempel secara mandiri di tiap lokasi dalam pabrik yang dikunjungi, seperti Greenmax History, Golden pastry makers, Red Barn Gallery, Good work & fun, good love & fun, dan service center. Kedua perusahaan ini berlokasi di Kaohsiung-Taiwan.
Tourism Factory sangat menarik, terlebih seperti di Taiwan yang mengusung tema, Experience diverse cultures and have a pleasant journey while touring factories in Taiwan. Dalam daftar excellent tourism factory di Taiwan, terdapat 17 tourism factory di Taiwan. Satu diantaranya yang pernah dikunjungi penulis adalah Flomo Stationary Museum. Flomo memperkenalkan merek sebagai The first certified eco friendly eraser tourism factory in Taiwan. Istilah Made in Taiwan (MIT) menjadi jaminan kualitas dalam pasar internasional. Perusahaan ini didesain sangat baik untuk menghabiskan waktu berlibur pengunjung. Melalui tourism factory, mereka dapat meningkatkan penjualan dan brand awareness, termasuk di masa mendatang meng-up grade fasilitas mereka.
Bagaimana dengan tourism factory di Indonesia? Tentu Indonesia juga memiliki potensi yang besar. Pabrik-pabrik yang ingin menjadi tourism factory harus berbenah secara maksimal. Mereka harus bekerjasama dengan berbagai pihak. Seperti di Taiwan, tourism factory didukung oleh Ministry of Economic Affairs, R.O.C, lalu disponsori oleh IDB (Industrial Development Bureau, Ministry of Economic Affairs), dan terdapat Executive Unit seperti Industrial Technology Research Institute. Penulis pernah menyusun ide sustainability eco-tourism pada salah satu pabrik gula di Indonesia. Beberapa pabrik gula di Indonesia dibangun sejak jaman kolonial Belanda. Jika perusahaan ingin dijadikan sebagai eco-tourism, mereka bisa menyebutnya dengan Zuckerfabrik Museum. Sengaja ide ini penulis gunakan dalam Bahasa Belanda untuk membangkitkan nostalgia.
Nah, eco-tourism semacam ini perlu diberi tag line, misalnya Historical artifacts and green shop. Sustainable tourism is often attributed to the ‘triple bottom line’ (TBL) focused on the interaction among distinct and interrelated environmental, economic, and socio-cultural aspects of tourism (Dwyer, 2005; Kuhn, 2007; Weaver, 2005). For a destination to be considered sustainable, it must, therefore, be liveable, equitable, and viable (Tanguay, Rajaonson, & Therrien, 2013; Tanguay, Rajaon- son, Lefebvre, & Lanoie, 2009). Some have gone beyond extending the concept to four pillars including organizational development as observed in the quadruple bottom line approach to sustainability (Laririt, 2011).
Pabrik-pabrik di Indonesia ke depan yang siap menjadi tourism factory akan berada dalam daftar pemerintah Indonesia. Akan ada website tersendiri tentang factory tourism di Indonesia. Kita dan turis asing bisa mencari tahu tentang semua industri yang masuk dalam tourism factory, mulai dari industri kreatif, kesehatan dan farmasi, cultural, tekstil, home tech dan furniture, makanan-minuman, sepatu, stationary, dll. Pemerintah Indonesia kemudian bisa membuat peringkat dan anugrah excellent tourism factory. Hal ini akan membuat ekonomi di Indonesia lebih bergairah karena tiap pihak akan berkompetisi secara sehat. Juga Made in Indonesia akan lebih bisa dikenal dan dibeli oleh masyarakat internasional. Di sinilah manfaat factory visits sebagai salah satu sarana membangun merek dan bahkan reputasi perusahaan. Bagaimana pendapat Anda?
Maya Diah Nirwana
Dosen FISIP UB, saat ini tengah tugas belajar S3 di Department of Business Management, College of Management, Professional Course Division: Communication Management, National Sun-yat Sen University, Taiwan-Republic of China.
Research Interests: International Business Management, International Marketing, dan Strategic Management)