Kanal24, Malang – Di balik keindahan lanskap Pulau Gag yang memukau, tersimpan potensi nikel berkelas dunia yang telah menjadi tulang punggung baru bagi PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Sejak beroperasi pada 2018, anak usaha Antam, PT Gag Nikel, telah memproduksi lebih dari 15 juta wmt bijih nikel dari pulau kecil di gugusan Raja Ampat, Papua Barat Daya ini. Potensi tambangnya yang strategis dan berkadar tinggi menjadikan Gag sebagai aset vital dalam portofolio Antam, bersanding dengan tambang-tambang nikel besar lain di Konawe Utara, Maluku Utara, dan Pomalaa.
Namun, perjalanan Gag Nikel tidak selalu mulus. Pada awal 2025, aktivitas operasional perusahaan sempat dihentikan sementara oleh pemerintah akibat sorotan media mengenai dugaan kerusakan lingkungan di wilayah tambang. Empat perusahaan lain bahkan harus angkat kaki dari wilayah Doberai setelah izin mereka dicabut. Hanya Gag Nikel yang diberi lampu hijau untuk melanjutkan operasinya oleh Presiden Prabowo Subianto.
Keputusan pemerintah untuk melanjutkan izin usaha pertambangan (IUP) Gag Nikel didasari oleh evaluasi terhadap ketaatan perusahaan dalam mengelola dampak lingkungan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers di Istana Negara pada 10 Juni 2025, menyatakan bahwa hasil pemantauan menunjukkan kegiatan eksploitasi tidak memengaruhi kualitas ekosistem perairan sekitar. “Ini adalah proses bagaimana melakukan AMDAL yang baik,” ujar Bahlil.
Potensi Ekonomi dan Strategi Produksi
Dari sisi sumber daya, Gag Nikel mengantongi cadangan besar: 319,78 juta ton bijih nikel yang terdiri dari saprolite 122,44 juta ton dan limonite 100,05 juta ton. Kadar nikelnya pun tinggi, yakni 1,90 persen (saprolite) dan 1,48 persen (limonite), menjadikannya salah satu area tambang paling bernilai di tanah air.
Plt Presiden Direktur Gag Nikel, Arya Arditya Kurnia, mengungkapkan bahwa hingga akhir 2024, perusahaan telah menjual hampir seluruh hasil produksi—yakni 15,4 juta wmt—dengan puncak produksi terjadi pada 2021 dan 2023 masing-masing sebesar 3 juta wmt. Penurunan sempat terjadi saat pandemi COVID-19 tahun 2020, namun kembali stabil dalam dua tahun terakhir.
Dari sisi pendapatan, lonjakan luar biasa juga tercatat. Dalam rentang 2018-2021, Gag Nikel mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari Rp376,61 miliar menjadi Rp1,76 triliun. Bahkan kontribusinya terhadap segmen bijih nikel Antam mencapai 38 persen pada 2021. Keuntungan bersih juga tumbuh hampir delapan kali lipat dalam empat tahun: dari Rp100,12 miliar pada 2018 menjadi Rp819,77 miliar pada 2021.
Untuk tahun 2025, meski operasional sempat tersendat, prospek pendapatan Gag Nikel tetap cerah. Dengan asumsi harga jual rata-rata bijih nikel di angka 45 dolar AS per wmt dan target produksi 3 juta wmt, Gag Nikel berpeluang meraup pendapatan sekitar Rp2,23 triliun hingga akhir tahun ini.
Namun, Arya menegaskan bahwa seluruh target tersebut sangat bergantung pada keluarnya surat resmi dari Menteri ESDM pasca penghentian sementara. “Kami belum bisa mulai aktivitas pertambangan sampai legalitas baru keluar,” ujarnya. Pihaknya bahkan tengah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari 3 juta menjadi 4 juta wmt, meski proses itu kini dalam pengawasan ketat pemerintah.
Menakar Umur Tambang dan Eksplorasi Cadangan
Salah satu tantangan besar Gag Nikel ke depan adalah keterbatasan cadangan. Dari total sumber daya 319 juta ton, hanya sekitar 56 juta wmt yang saat ini terverifikasi sebagai cadangan dan diperkirakan cukup hingga 2038. Padahal, masa berlaku IUP Gag Nikel masih sampai 2047.
Untuk itu, eksplorasi lanjutan terus digenjot agar bisa mengonversi sisa sumber daya menjadi cadangan aktif. Arya menyebut bahwa baru sekitar 700–1.000 hektare dari 13.136 hektare wilayah konsesi yang dieksplorasi secara penuh. Dari 6.060 hektare daratan, hanya 3.000 hektare yang diperkirakan memiliki kandungan nikel potensial.
“Dari studi kelayakan awal, umur tambangnya sampai 2038. Tapi kami masih punya sumber daya lain yang bisa dikembangkan,” kata Arya.
Prospek Pasar dan Tantangan Eksternal
Di luar dinamika internal, Gag Nikel juga menghadapi tantangan eksternal berupa harga nikel global yang lesu akibat oversupply—terutama dari Indonesia sendiri. Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, memproyeksikan harga nikel masih akan stagnan sepanjang 2025 karena tekanan pasokan.
Senada dengan itu, Analis Reliance Securities, Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah, menyatakan bahwa dalam jangka pendek (1-2 tahun), kinerja Antam masih akan diuji. Namun, ia optimistis terhadap prospek jangka panjang jika strategi hilirisasi baterai kendaraan listrik dan tata kelola lingkungan dijalankan dengan baik.
Direktur Utama Antam, Nico Kanter, memastikan bahwa seluruh aktivitas Gag Nikel diawasi ketat dan mengikuti praktik pertambangan yang baik. “Kami memastikan penerapan standar internasional di seluruh lini bisnis, termasuk di Gag Nikel,” tegasnya.
Pulau Gag kini menjadi satu-satunya harapan Antam di kawasan Raja Ampat setelah perusahaan tambang lainnya kehilangan izin. Dengan sumber daya yang besar, cadangan berkadar tinggi, dan kontribusi signifikan terhadap pendapatan grup, Gag Nikel menjadi tumpuan penting bagi ekspansi nikel Antam. Namun, tantangan dalam pengelolaan lingkungan, ketidakpastian harga global, dan keharusan eksplorasi lanjutan akan menjadi penentu nasib tambang ini dalam dekade mendatang. Pemerintah, investor, dan masyarakat kini sama-sama menanti: akankah Gag Nikel tetap menjadi tambang emas Antam, atau justru menjadi beban di tengah tuntutan tata kelola berkelanjutan? (nid)