Kanal24, Malang – Semangat pelestarian budaya lokal dan inovasi media edukasi anak-anak kembali digaungkan dalam rangkaian Pra-MADFEST 2025 yang diselenggarakan oleh Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) Vokasi Universitas Brawijaya pada Selasa (10/06/2025). Salah satu karya yang mencuri perhatian datang dari Kusuma Manik, mahasiswa DKV yang memperkenalkan buku interaktif bertema wayang suket berjudul “Puspasarira”.
Wayang suket sendiri merupakan salah satu bentuk wayang tradisional yang terbuat dari rumput kering (suket), dan di wilayah Malang hanya dikenal melalui sosok Mbah Samsul Subakri, atau yang akrab disapa Mbah Karjo. Sang dalang ini adalah satu-satunya perajin dan pelestari wayang suket di daerah tersebut, menjadikannya tokoh sentral dalam karya Manik.
Baca juga:
Fakultas Vokasi UB Dorong Kolaborasi Pendidikan dan Industri dalam Rapat Kerja Nasional FPTVI 2025

“Sayangnya, tidak ada yang meneruskan tradisi ini. Karena itu saya berinisiatif membuat buku interaktif untuk mengenalkan wayang suket Puspasarira kepada anak-anak,” tutur Manik.
Buku interaktif ini menyuguhkan pengalaman membaca yang edukatif dan menyenangkan. Melalui pendekatan visual dan mekanisme pop-up, anak-anak diajak mengikuti petualangan karakter Elang, seorang penjelajah cilik di Kota Malang yang tanpa sengaja menemukan pertunjukan wayang suket oleh Mbah Karjo.
Tiap halaman buku menghadirkan interaksi unik, seperti elemen yang bisa dilambaikan, tokoh yang bisa berjalan, hingga bagian pementasan yang bisa diproyeksikan menggunakan cahaya dan bayangan. Tak hanya sebagai hiburan, buku ini sarat akan nilai-nilai edukatif dan budaya. Anak-anak dapat mempelajari sejarah, filosofi, hingga cara pembuatan wayang suket Puspasarira secara visual dan naratif.
“Unsur-unsur dasar seperti sumber cahaya, penghalang sinar, layar, dan bahan dasar wayang dari mendong dikenalkan di buku ini. Termasuk proses pembuatannya dari kepala, pundak, pinggang, kaki, hingga tangan,” jelas Manik.
Nama Puspasarira sendiri memiliki makna mendalam. Puspa berarti bunga, merujuk pada ornamen bunga kecil di kepala wayang, sedangkan Sarira berarti figur atau boneka kecil. Kombinasi nama ini menggambarkan estetika dan filosofi dari wayang buatan Mbah Karjo.
Buku ini juga dilengkapi panduan pembuatan wayang suket secara bertahap. Khusus untuk keperluan pameran, versi wayang dibuat dengan ukuran lebih besar dan teknik khusus oleh Mbah Karjo sendiri, berbeda dari versi enam helai yang umum digunakan dalam buku.
Manik menekankan bahwa media edukatif seperti ini dibutuhkan untuk menjembatani generasi muda dengan kekayaan budaya lokal yang mulai terpinggirkan. Dengan visual cerah, desain interaktif, dan pendekatan cerita yang menarik, buku Puspasarira diharapkan mampu menumbuhkan minat anak-anak terhadap seni tradisional, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya.

Baca juga:
Karya Mahasiswa DKV Unjuk Gigi di Pra-MADFEST 2025
“Anak-anak zaman sekarang tidak cukup belajar budaya hanya dari buku teks. Media seperti ini bisa membuat mereka lebih paham dan tertarik,” tambahnya.
Karya ini menjadi salah satu contoh bagaimana mahasiswa DKV tidak hanya mengolah visual dan desain, tetapi juga mengangkat isu kebudayaan lokal dan memberikan solusi nyata melalui inovasi. Pra-MADFEST 2025 sendiri menjadi ajang untuk mempertemukan mahasiswa, akademisi, pelaku industri kreatif, dan masyarakat luas dalam merayakan potensi desain dan komunikasi visual yang berdampak sosial.
Dengan hadirnya karya seperti Puspasarira, harapannya adalah tradisi wayang suket yang hampir punah bisa tetap hidup di tengah masyarakat, terutama melalui generasi muda. (nid)