Kanal 24, Malang – Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menetapkan tarif impor sebesar 50 persen untuk komoditas tembaga dan barang-barang dari Brasil. Kebijakan ini diumumkan melalui platform Truth Social dan akan berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025.
Langkah ini memicu kekhawatiran global karena tidak hanya berdampak pada pasar logam dunia, tetapi juga menyulut ketegangan baru dalam hubungan dagang internasional.
Tembaga Jadi Komoditas Strategis
Kebijakan tersebut lahir dari hasil investigasi berdasarkan Section 232 Trade Expansion Act 1962, yang memberikan kewenangan pada Presiden AS untuk memberlakukan tarif atas barang impor yang dinilai mengancam keamanan nasional.
Baca juga:
Nikmati Kuliner dan View Malang di THE 101 Malang OJ
Trump menyebut tembaga sebagai material vital dalam berbagai teknologi pertahanan dan industri strategis. “Tembaga diperlukan untuk semikonduktor, pesawat, sistem radar, kendaraan listrik, hingga senjata hipersonik. Amerika akan kembali membangun industri tembaga yang dominan,” tulisnya, Kamis (10/7/2025).
Langkah ini disebut sebagai kelanjutan dari kebijakan proteksionisme Trump yang ingin mengembalikan supremasi industri dalam negeri Amerika, khususnya untuk sektor energi dan logam strategis.
Harga Tembaga Melejit, Pasar Panik
Pengumuman tarif tersebut langsung mengguncang pasar. Di bursa Comex New York, harga tembaga berjangka melonjak hingga lebih dari 17 persen, mencapai USD 5,68 per pon, tertinggi sepanjang sejarah. Harga ini juga jauh melampaui harga di London Metal Exchange (LME) yang hanya berada di kisaran USD 4,44, menciptakan selisih harga lebih dari 25 persen.
Menurut Dow Jones Market Data, lonjakan ini menjadi yang terbesar sejak tahun 1968.
Tembaga kini menjadi salah satu komoditas paling dicari di dunia karena penggunaannya yang luas, dari mobil listrik, ponsel pintar, chip komputer, konstruksi bangunan, hingga pusat data. Kenaikan harga dipicu oleh aksi borong perusahaan-perusahaan AS yang ingin mengamankan pasokan sebelum tarif diberlakukan.
Ketegangan Diplomatik dengan Brasil
Tarif ini tak hanya menyasar tembaga, tetapi juga seluruh barang ekspor dari Brasil. Dalam surat resmi kepada Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Trump menyampaikan bahwa tarif terhadap barang Brasil akan dinaikkan dari 10 persen menjadi 50 persen.
Ia juga menyinggung isu dalam negeri Brasil, termasuk sidang mantan Presiden Jair Bolsonaro yang disebutnya sebagai “aib internasional”.
Lula da Silva pun bereaksi keras. Ia mengancam akan melakukan pembalasan berdasarkan Hukum Timbal Balik Ekonomi Brasil, dan langsung memanggil diplomat AS di Brasília sebagai bentuk protes resmi. “Setiap kenaikan tarif sepihak akan ditanggapi sesuai hukum ekonomi Brasil,” tegasnya.
Risiko Geopolitik dan Perang Dagang Baru
Kebijakan tarif tembaga AS berpotensi menjadi pemicu perang dagang baru. Selain Brasil, Trump juga mengumumkan akan mengenakan tarif tinggi terhadap negara-negara lain seperti Filipina, Sri Lanka, Aljazair, Brunei, Moldova, hingga Korea Selatan dan Jepang, jika tidak tercapai kesepakatan dagang sebelum Agustus 2025.
Langkah ini menuai kritik dari banyak ekonom dan pengamat internasional. Mantan pejabat perdagangan AS, Brad Setser, menyebut bahwa risiko utama dari kebijakan ini adalah kerapuhan sistem perdagangan global jika tarif bisa diputuskan secara sepihak oleh seorang presiden.
Dampaknya juga dirasakan negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, yang mengimpor tembaga sebagai bahan baku industri. Lonjakan harga tembaga berisiko mendorong inflasi, meningkatkan biaya produksi, dan memperlambat pemulihan ekonomi global.
Masa Depan Industri Tembaga Dunia
Di tengah gejolak pasar, Trump berharap tarif ini mampu menghidupkan kembali industri tembaga domestik AS, khususnya di bidang peleburan dan pemurnian yang selama ini tertinggal dibandingkan pesaing global seperti Tiongkok.
Namun, sejumlah analis menilai bahwa upaya membangun kembali rantai pasok logam strategis AS tak bisa disulap dalam waktu singkat. Saat ini, AS masih mengimpor hampir setengah kebutuhan tembaganya, sebagian besar dari Chile dan Kanada.
Sementara itu, Tiongkok tetap menjadi pemimpin global, dengan investasi senilai hampir USD 27 miliar dalam pengembangan tambang dan peleburan tembaga selama lima tahun terakhir. Konsultan Wood Mackenzie bahkan mencatat bahwa Tiongkok menyumbang 75 persen pertumbuhan fasilitas peleburan tembaga di dunia sejak tahun 2000.
Baca juga:
Trump Ancam Tarif Impor, Indonesia Kena Imbas BRICS
Menuju Ketidakpastian Global
Kebijakan tarif tembaga AS telah mengirim sinyal keras kepada dunia bahwa era proteksionisme ekonomi belum berakhir. Di saat banyak negara tengah berupaya memperkuat kerja sama pasca-pandemi dan mempercepat transisi energi hijau, langkah Trump justru membuka babak baru konfrontasi perdagangan.
Jika ketegangan ini terus memanas, gelombang tarif bisa memperburuk ketidakpastian bisnis global, memperlambat inovasi, dan menghambat pertumbuhan ekonomi lintas sektor. (han)