oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Allah mencipta manusia terdiri dari laki dan perempuan agar bisa saling membantu dan melengkapi antar keduanya untuk mewujudkan berbagai kebutuhan kehidupan kemanusiaan. Laki laki dan perempuan dalam perspektif profetik tidaklah dalam posisi yang saling bersaing dan berhadap-hadapan yang menyebabkan lahirnya berbagai konflik pemikiran sebab salah dalam menempatkan posisi keduanya.
Dalam perspektif profetik laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang sama dalam masalah ketaqwaan, yaitu dengan menjalankan peran yang berbeda untuk bisa saling membantu dan melengkapi dalam mencapai tujuan bersama. Untuk itu islam hadir dalam rangka mengatur agar peran yang dijalankan oleh masing-masing dapat berjalan dengan baik dan benar pada porsinya dan ranah jalannya masing-masing agar tidak terjadi saling benturan (clash) atau tumpang tindih atas keduanya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Sebagaimana diFirmankan oleh Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS. Al-Hujurat, Ayat 13)
Posisi laki-laki dan perempuan dalam urusan ibadah menuju Tuhan adalah sama, sejajar dan sederajat. Namun menjalankan realitas kehidupan maka Allah menetapkan aturanNya agar manusia dan kehidupan berjalan dengan baik sebagaimana skenario penciptaannya. Sekali lagi, ini aturan Tuhan yang Maha adil, bukan aturan manusia berdasarkan pikiran dan hawa nafsunya. Lalu bagaimana Allah Tuhan Semesta Alam Sang Maha Adil mengatur hubungan keduanya dalam realitas kehidupan? .
Dalam teks sumber wahyu di terangkan bahwa dalam menjalani kehidupan maka harus ada pemimpin yang mengomandani dan mengarahkan pengelolaan hidup dan pemimpin itu haruslah laki-laki. Bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, sebagaimana FirmanNya :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya tentang ayat tersebut mengatakan bahwa, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita. Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila wanita menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
”Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya.
Ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, baik dalam keluarga ataupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggungjawab memenuhi nafkah bagi keluarganya, untuk itu seorang perempuan atau istri wajib taat kepadanya (suami), menjaga dirinya disaat sang suami tidak ada rumahnya (tidak boleh nusyuz, durhaka, selingkuh atau pengkhianatan lainnya). Ketaatan seorang istri (perempuan) ditegaskan pula dalam ayat selanjutnya bahwa:
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
”Kemudian jika mereka (para istri) mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Hal ini menegaskan bahwa ketaatan istri kepada suami, bukan sebaliknya, suami yang harus mentaati istri, ini salah besar. Artinya dalam kepemimpinan maka laki-laki haruslah bertindak sebagai pemimpin. Jika laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dilingkup yang kecil yaitu di dalam rumah tangga, maka bagaimana mungkin seorang perempuan boleh menjadi pemimpin di level yang lebih luas lagi? .
Mengapa harus laki-laki yang jadi pemimpin? . Allah swt menjelaskan dalam ayatnya bahwa Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan. Sebagaimana FirmanNya :
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Menurut al imam al Baghawy dalam Tafsirnya al Baghawi menjelaskan bahwa Allah swt melebihkan atau memberikan kelebihan bagi laki-laki dari pada perempuan dalam hal potensi akal rasionalitas, pemahaman agama dan kekuasaan. Sehingga laki-laki cenderung lebih rasional, lebih religius dan lebih kuat dari segi fisik sebagai modal untuk mengemban tugas-tugas kekuasaan. Sehingga tidak ada para pengemban amanah berat dan besar seperti sebagai Nabi ataupun juga penguasa adalah terdiri dari perempuan, bahkan malaikatpun tidak ada yang dari kalangan perempuan. Hal ini juga menandakan bahwa seorang pemimpin setidaknya haruslah memiliki kelebihan dalam ketiga potensi tersebut.
Keutamaan laki-laki dibandingkan perempuan yang menjadi dasar argumentasi kenapa lebih layak dijadikan pemimpin setidaknya banyak ditemukan dalam berbagai teks sumber wahyu. Yaitu pertama; Allah melebihkan derajat laki-laki daripada perempuan. Sebagaimana Firman Allah swt;
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah: 228)
Kedua, Allah mengutus para Nabi dan Rasul dari kalangan laki-laki (tidak ada satupun yang perempuan). Apakah dengan hal ini manusia kemudian berani mengatakan bahwa Allah telah berlaku tidak adil ? , padahal Allah adalah dzat yang maha adil dan maha mengetahui karena Dia-lah pencipta segala sesuatu.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.” (QS. Yusuf : 109)
Ketiga; Allah menjelaskan bahwa para istri Nabi berada di bawah kekuasaan para Nabi, artinya bahwa wanita itu dipimpin, bukan yang memimpin.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing).” (QS. At Tahrim : 10)
Keempat; Allah memutuskan bahwa besaran warisan laki-laki setara dengan dua wanita.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” (QS. An Nisa’ : 11)
Kelima, demikian pula dalam urusan persaksian. Saksi satu laki-laki yang terpercaya sama dengan dua saksi perempuan. Sebagaimana Firman Allah swt, ”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Apa yang disampaikan diatas menunjukkan bahwa memang Allah swt sendiri yang telah melebihkan laki-laki dibandingkan perempuan, tentu ada maksud dari Allah dalam urusan ini. Sebab manusia sejatinya memang tidak sama. Atas perbedaan itu maka manusia dapat saling melengkapi untuk menjalankan perintah. Bukan untuk saling berselisih dan dipertentangkan atas keduanya. Jika memang Allah swt sendiri yang melebihkan antara keduanya maka apakah manusia berani mengatakan bahwa Allah swt telah berlaku tidak adil? . Na’udzu billahi min dzalik.
Selain fakta yang bersumber dari teks sumber wahyu ini, kita juga dapat menjumpainya bahwa kepemimpinan itu haruslah laki-laki yaitu melalui hadist nabi Muhammad saw, baik berupa ucapan, tindakan ataupun keputusan Nabi. Antara lain bahwa tidak pernah mengangkat pemimpin suatu wilayah atau saat perang sebagai panglima perang termasuk juga untuk menjadi imam shalat dari kaum perempuan. Bahkan Rasulullah menegaskan dalam sebuah haditsnya :
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada yang lain, tentu akan kuperintahkan wanita sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159).
Demikian pula seorang perempuan haruslah taat pada suaminya dalam segala hal ketaatan kepada Allah bahkan tidaklah seorang istri (perempuan) diperbolehkan berpuasa tanpa seijin suami termasuk saat diajak ketempat tidur. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بأذنه
“Hendaklah wanita tidak berpuasa (sunnah) apabila suaminya ada di rumah selain dengan seizin suaminya.”(HR. Bukhari).
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya enggan mendatanginya, sehingga suaminya tidur dalam keadaan marah, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua hal tersebut diatas memberikan sebuah informasi penting pada kita bahwa yang layak untuk menjadi pemimpin dalam perspektif profetik adalah seorang laki-laki sebab berbagai kelebihan yang telah diberikan padanya oleh Allah. Prioritas pada laki-laki sebagai pemimpin juga haruslah disebabkan ketundukan dan ketaatan kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah dalam memilih pemimpin. Sehingga manusia harus lebih mengutamakan Allah dan Rasulnya daripada hawa nafsunya. Komunikasi kepemimpinan profetik lebih mengandalkan ketaatan daripada rasionalitas hawa nafsu. Tunduk patuhlah !.