“Gua anak umur 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener2 banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton netflix sama chat-chat-an dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain ipk ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mentalhealth kaya gua. Gua mesti gimana….??? (dan diakhiri dengan emot menangis)”.
Paragraf di atas merupakan cuitan twitter salah satu mahasiswa semester 2 yang sempat viral di beberapa platform media sosial seperti facebook dan instagram, yang akhirnya menimbulkan pembahasan bagi khalayak mengenai istilah yang dianggap baru tentang generasi muda sekarang ini (generasi di bawah millennial) yakni strawberry generation atau generasi strawberry.
Strawberry merupakan buah yang memiliki warna dan bentuk yang cantik dan menarik. Perpaduan rasa manis dan asam membuatnya terkesan unik. Selain itu, buah strawberry mengandung banyak sekali sumber gizi. Hal inilah yang membuat banyak orang suka buah strawberry.
Namun, dibalik banyaknya kelebihannya, buah strawberry ternyata memiliki tekstur yang mudah rapuh. Filosofi ini akhirnya dikaitkan dengan generasi zaman sekarang yang tumbuh di masa perkembangan teknologi modern. Namun, ketika dihadapkan pada suatu masalah menjadi mudah rapuh.
Menurut Profesor Rhenald Kasali dalam bukunya dan dalam salah satu kesempatan kuliah online melalui streaming youtube, generasi strawberry adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Definisi ini dapat dilihat melalui laman-laman media sosial. Banyak gagasan-gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus tidak kalah banyak cuitan resah yang menggambarkan suasana hati mereka.
Sebagai seorang pendidik, Profesor Rhenald Kasali mencoba mempelajari fenomena ini agar jangan sampai menjadi seperti fenomena flexing, yaitu crazy rich bohong-bohongan dan lain sebagainya. Analisis mengapa dapat muncul fenomena seperti ini dijabarkan Profesor Rhenald menjadi empat hal, yaitu:
1. Self diagnosis terlalu dini tanpa melibatkan pihak yang ahli
Generasi muda sekarang sangat luar biasa. Mereka mendapatkan banyak informasi yang beredar di media sosial dan mereka mampu menyerapnya seperti spons yang menyerap air. Banyak dari kita yang terpapar informasi-informasi yang kadang belum tentu tepat. Lalu, mencoba mencocok-cocokkan apa yang terjadi kepada diri sendiri dengan apa yang dikatakan di dalam media sosial. Karena cocok, kemudian mereka merasa bahwa mereka tertekan, stress, dan bahkan depresi kemudian mengatakan; “Ah, saya butuh healing”. Padahal alih-alih healing, kata yang lebih tepat digunakan bagi sebagian besar orang sebetulnya adalah “refreshing”.
Sekarang ini media sosial memberikan informasi yang sangat kaya maka kita merasa bisa memecahkan masalah kita sendiri. Ini adalah self diagnosis yang tidak hanya terjadi pada orang muda tetapi sangat mungkin terjadi pada generasi yang lebih tua. Contoh mudah adalah ketika kita merasakan keluhan pada tubuh kemudian kita tidak mencoba memeriksanya tetapi cuma mencari-cari informasi melalui internet dengan membabi buta, ini malah akan menjadikan kita overthinking dan overdiagnosis.
2. Lahir dari lingkungan keluarga sejahtera
Banyak yang memiliki kehidupan yang masih susah, tetapi tidak dapat dipungkiri kehidupan sekarang pada umumnya lebih sejahtera daripada beberapa dekade yang lalu. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sejahtera seharusnya disyukuri tetapi berakibat juga pada beberapa hal. Pada keluarga yang sejahtera, orang tua mempunyai kecenderungan memberikan apa yang diminta oleh anak-anaknya dan memberikan waktu lebih sedikit. Padahal, waktu seharusnya tidak bisa dikompensasi dan orang tua harus tetap menyempatkan perhatian untuk anak-anak. Selain itu, orang tua tidak terbiasa menghukum anak atau memberi konsekuensi atas kesalahan-kesalahan anaknya.
Kekeliruan orang tua berikutnya adalah setting unrealistic expectation. Orang tua sering menyebut anaknya princess, prince, ana paling hebat dan lain sebagainya. Padahal, dalam kehidupan nantinya, anak-anak ini akan menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit daripada lingkungan amannya di rumah, di mana akan ada orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka. Akibatnya, anak-anak ini kemudian akan lebih mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan di luar rumah.
3. Narasi-narasi orang tua yang kurang berpengetahuan
Pada generasi zaman sebelumnya, relatif tidak ada orang tua yang mengatakan anaknya itu moody (relatif mudah berubah-ubah mood). Akhir-akhir ini jumlah orang tua yang mengatakan anaknya moody makin meningkat. Ada akibat penyebutan moody dari orang tua untuk anaknya yakni setelah anak-anak itu besar nanti mereka akan mudah menyebut dirinya sendiri gampang berubah-ubah mood (percaya pada label tersebut).
4. Generasi muda sekarang mudah lari dari kesulitan
Padahal kemenangan dari seseorang itu adalah jika ia bisa memanage semua kesulitan-kesulitan atau obstacle tersebut. Contoh cuitan twitter mahasiswa semester 2 tersebut bisa diartikan bahwa yang bersangkutan kurang dapat melewati kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dalam kehidupan perkuliahan.