oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi keluarga dalam perspektif profetik memiliki dua sudut pandang terhadap hubungan sosial dan kehidupan keluarga. Pertama dikenal dengan kehidupan umun (hayatul ‘aam) yaitu realitas kehidupan interaksi manusia dalam hubungan sosial secara umum terlebih dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Perspektif profetik memberikan perhatian serius dalam hubungan antar manusia berdasarkan pembagian yang tegas dalam interaksi laki-laki dan perempuan. Perspektif ini memisahkan secara tegas hubungan keduanya dalam tata aturan yang sangat spesifik dan jelas. Konsekwensi interaksi dalam kehidupan umum (hayatul ‘aam) ini maka pola hubungan laki-laki dan perempuan dilandasi prinsip ta’awun (saling membantu) dan zaujiyah (Interaksi pernikahan). Dalam konteks ini hubungan laki dan perempuan diperintahkan untuk menundukkan pandangan, menutup aurat, dalam berkumpul (ijtima’) maka dilarang berkhalwat, ada pemisahan (infishal) tempat antara kelompok laki-laki dan perempuan, dan perempuan apabila keluar rumah harus seijin suami.
Kedua, kehidupan khusus (hayatul khas, private life) yaitu suatu realitas kehidupan yang berada dalam ruang khusus terbatas dan hanya boleh diakses oleh kalangan tertentu serta memiliki aturan yang spesifik dan terbatas seperti kehidupan dalam rumah keluarga. Konsekwensi dalam realitas kehidupan khusus ini maka interaksi antar manusia, laki-laki dan perempuan dilandasi oleh hubungan private sebab garis keturunan atau pernikahan. Beberapa aturan dalam hubungan di kehidupan khusus ini antara lain mengharuskan setiap orang untuk meminta ijin terlebih dahulu sebelum memasuki rumah. Hal demikian disebutkan dalam teks sumber wahyu :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتًا غَيۡرَ بُيُوتِكُمۡ حَتَّىٰ تَسۡتَأۡنِسُواْ وَتُسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَهۡلِهَاۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (QS. An-Nur, Ayat 27).
Al-Faryabi dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Adi bin Tsabit bahwa seorang wanita Anshar datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berada dalam sebuah rumah yang aku tidak suka seorang pun melihatku, akan tetapi selalu saja ada lelaki dari keluarga aku yang masuk rumah sementara aku berada dalam keadaan tersebut. Apa yang harus aku perbuat?” Maka turunlah ayat tersebut di atas.
Mengapa seseorang harus meminta ijin terlebih dahulu sebelum memasuki rumah hal ini dikarenakan karena rumah adalah kehidupan khusus yang memperbolehkan tuan rumah atau yang ada dalam rumah membuka auratnya hal ini disebabkan interaksi dalam kehidupan khusus dibatasi oleh hubungan mahram (status orang yang dilarang untuk dinikahi). Sehingga seseorang yang akan memasuki suatu rumah perlu terlebih dahulu meminta ijin dengan cara mengucapkan salam dan mengetuk rumah maksimal 3 kali salam atau ketukan. Serta tidak berdiri persis di depan pintu melainkan lebih ke samping dan tidak boleh mengintip ke dalam rumah. Bahkan pula seseorang haruslah meminta ijin atas 3 waktu interaksi. Sebagaimana teks sumber wahyu :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِيَسۡتَـٔۡذِنكُمُ ٱلَّذِينَ مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ وَٱلَّذِينَ لَمۡ يَبۡلُغُواْ ٱلۡحُلُمَ مِنكُمۡ ثَلَٰثَ مَرَّٰتٖۚ مِّن قَبۡلِ صَلَوٰةِ ٱلۡفَجۡرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ ٱلظَّهِيرَةِ وَمِنۢ بَعۡدِ صَلَوٰةِ ٱلۡعِشَآءِۚ ثَلَٰثُ عَوۡرَٰتٖ لَّكُمۡۚ لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ وَلَا عَلَيۡهِمۡ جُنَاحُۢ بَعۡدَهُنَّۚ طَوَّٰفُونَ عَلَيۡكُم بَعۡضُكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ
Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan) yaitu, sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah shalat Isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. An-Nur, Ayat 58)
Demikian perspektif profetik mengarahkan agar hubungan manusia terjaga dengan baik. Pelanggaran atas aturan kehidupan khusus ini akan berakibat rusaknya pola hubungan keluarga dan sosial. Perhatikan, apabila seseorang memasuki rumah tanpa ijin tentu akan dapat mempermalukan tuan rumah karena tidak ada kesempatan untuk menutup aurat. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dawud, bahwa seorang laki-laki bertanya pada Nabi Sollallohu Alaihi Wasallam, “Apakah saya harus meminta ijin pada ibuku?” Nabi menjawab, ” Ya.” Seorang laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya dia tidak memiliki pembantu kecuali saya, apakah saya harus meminta ijin setiap saya masuk?” Rasulullah menjawab, “Apakah kamu suka melihat ibumu telanjang?” Dia menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Kalau begitu mintalah ijin.”
Pandangan profetik ini dengan segala tata aturan etikanya dimaksudkan untuk menjaga kehormatan seseorang khususnya mereka yang berada dalam kehidupan khusus (private life) sehingga tidak dipermalukan dan terjaga kehormatan dirinya. Sementara pelanggaran atas tata aturan kehidupan khusus hanya akan menciptakan realitas yang buruk dalam kehidupan keluarga dan sosial. Semacam terjadinya perselingkuhan karena memasukkan orang asing (selain mahram) ke dalam rumah tanpa seijin tuan rumah sehingga menimbulkan kemudharatan besar dalam keluarga dan fitnah dalam masyarakat.
Komunikasi profetik dalam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dimaksudkan agar keduanya dapat menjalankan berbagai kepentingan dengan prinsip tolong menolong tanpa saling melampaui batas tugas dan tanggungjawab atas keduanya. Serta agar keduanya dapat memenuhi kebutuhan nalurinya secara benar. Sehingga terbangun realitas kehidupan keluarga dan sosial yang sehat dan harmonis.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB