Kanal24, Malang – Pada Kamis (12/12/2024), seminar bertajuk Hilirisasi Pertanian dan Re-industrialisasi Perekonomian Indonesia sukses diselenggarakan secara hybrid oleh Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University. Acara ini merupakan hasil kerja sama dengan Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) dan Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI).
Acara ini menghadirkan keynote speaker Prof. Rachmat Pambudy (Menteri PPN/Bappenas dan Dosen Departemen Agribisnis FEM IPB), Prof. Nuhfil Hanani (Guru Besar Departemen Sosek FP UB), serta Dr. Etriya (Dosen Departemen Agribisnis FEM IPB). Seminar dihadiri oleh anggota AAI, PERHEPI, dan peminat agribisnis serta ekonomi pertanian dari berbagai daerah di Indonesia.
Prof. Rachmat Pambudy menekankan pentingnya hilirisasi sebagai salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa transformasi agribisnis yang berbasis pada nilai tambah produk pertanian merupakan jalan untuk meningkatkan daya saing sekaligus mendorong re-industrialisasi.
“Pemerintah perlu memprioritaskan pengembangan ekosistem agribisnis, mulai dari penyuluhan, pengolahan hasil pertanian, hingga pemasaran yang terintegrasi. Hilirisasi yang berhasil akan menciptakan lapangan kerja baru dan mendongkrak kontribusi sektor pertanian terhadap PDB,” ujar Prof. Rachmat.
Namun, ia juga menyoroti kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap transformasi pertanian. “Koordinasi antar kementerian dan pemerintah daerah sering kali lemah, sehingga ekosistem agribisnis tidak terbangun dengan baik. Padahal, inovasi yang lahir dari perguruan tinggi memerlukan dukungan kebijakan yang kuat,” tambahnya.
Sementara itu, Prof. Nuhfil Hanani memaparkan, salah satu solusi untuk memperkuat hilirisasi adalah dengan memanfaatkan data input-output dan analisis sosial ekonomi. “Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menghasilkan inovasi teknologi dan strategi agribisnis. Namun, tanpa kebijakan yang mendukung, inovasi tersebut sulit diimplementasikan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti potensi besar yang belum tergarap di sektor agribisnis Indonesia. “Kita perlu belajar dari negara seperti Korea Selatan dan Jepang, yang mampu mengembangkan industri berbasis agribisnis skala kecil dengan kemasan yang inovatif. Hal ini membutuhkan peran pemerintah dalam menciptakan pasar yang adil dan mendorong pengembangan usaha kecil-menengah (UKM),” kata Prof. Nuhfil.
Dr. Etriya menambahkan, keberhasilan hilirisasi juga bergantung pada keberlanjutan koordinasi antara sektor publik, swasta, dan akademisi. Ia menyebutkan pentingnya pengembangan industri berbasis agro di tingkat lokal sebagai langkah awal untuk memperkuat ekosistem agribisnis nasional.
“Kasus peternak yang membuang susu karena tidak terserap pasar menunjukkan betapa pentingnya intervensi kebijakan yang responsif. AAI dan PERHEPI harus terus menjadi motor penggerak advokasi agar pemerintah lebih tanggap terhadap permasalahan agribisnis,” ujarnya.
Seminar ini menjadi momentum untuk menegaskan peran strategis sektor pertanian dalam mewujudkan target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan pemerintah. Dengan sinergi yang kuat antara perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat, transformasi agribisnis bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Hilirisasi dan re-industrialisasi perekonomian Indonesia memerlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Perguruan tinggi sebagai sumber inovasi, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dan pelaku usaha sebagai eksekutor utama harus bersatu dalam ekosistem agribisnis yang solid. Dengan langkah ini, Indonesia diharapkan mampu memperkuat posisi ekonominya dan mencapai pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan. (nid)