Kanal24, Malang – Diskusi mengenai standar gizi dan keamanan pangan kembali mencuat seiring maraknya pemberitaan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah bagi siswa sekolah. Polemik muncul karena banyak pihak saling menyalahkan, mulai dari penyelenggara sekolah, organisasi profesi, hingga ahli gizi.
Menanggapi hal ini, Ikatan Ahli Gizi Universitas Brawijaya melalui Eva Putri Arfiani, S.Gz., M.P.H., menekankan pentingnya memahami aspek gizi dan keamanan pangan secara menyeluruh agar tujuan program tidak hanya sekadar mengenyangkan, tetapi juga menjamin kesehatan siswa.

Pemenuhan Gizi Harian Siswa
Eva menjelaskan bahwa konsep gizi dalam program MBG harus disesuaikan dengan kebutuhan energi harian siswa. Jika kebutuhan kalori harian ditetapkan sebesar 2.000 kalori, maka distribusinya dibagi dalam tiga kali makan utama dan dua kali camilan. Makan utama—pagi, siang, dan sore—masing-masing mengandung 20–25 persen dari total kebutuhan kalori, setara dengan 400–500 kilokalori per sajian. Sementara dua kali selingan atau camilan masing-masing diberikan porsi energi 10–15 persen.
Baca juga:
Pembicara ICWRDEP 2025 Tawarkan Solusi Water Sensitive Urban Design
“Prinsip ini berlaku untuk semua kelompok usia. Tinggal menyesuaikan dengan angka kecukupan gizi (AKG) sesuai umur. Jadi sekali makan harus memenuhi syarat energi dan zat gizi yang ideal,” jelas Eva kepada Kanal24, Selasa (30/9/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa penyusunan menu harus memperhatikan keseimbangan karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah. Dengan begitu, program MBG tidak hanya menekan angka stunting dan gizi buruk, tetapi juga mendukung perkembangan anak usia sekolah agar tetap sehat dan produktif.
Manajemen Penyelenggaraan Makanan Massal
Selain aspek gizi, Eva menyoroti pentingnya manajemen penyelenggaraan makanan dalam skala besar. Ia menyebut, memasak untuk ribuan siswa sangat berbeda dengan memasak di rumah. Dalam dunia profesi gizi, hal ini termasuk ranah manajemen penyelenggaraan makanan (MPM).
“Kalau untuk keluarga, kita hanya menyiapkan tiga hingga lima porsi. Tapi dalam program MBG, jumlahnya bisa mencapai ribuan porsi dalam sekali produksi. Konsep ini harus dikelola dengan ketat agar makanan tetap aman,” ujarnya.
Menurut Eva, setiap tahapan produksi wajib mengikuti standar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), sebuah metode pengendalian mutu dan keamanan pangan yang diakui internasional. Prosesnya dimulai dengan identifikasi bahaya dari bahan mentah—misalnya bakteri Salmonella pada ayam atau E. coli pada sayuran—lalu menetapkan titik kendali kritis (critical control point/CCP) yang menentukan bagaimana bahaya tersebut dapat dicegah.
Contoh penerapan CCP adalah pengaturan suhu penyimpanan bahan mentah di bawah 5 derajat Celsius, atau memastikan daging dan ayam tidak dibiarkan di suhu ruang lebih dari tiga jam. Begitu juga saat pemasakan, suhu harus mencapai titik aman tertentu untuk membunuh bakteri. Seluruh langkah ini harus diawasi dengan ketat, termasuk pencatatan suhu secara berkala menggunakan termometer inframerah.
Waktu Tunggu dan Keamanan Konsumsi
Faktor krusial lain yang sering terabaikan adalah waktu tunggu makanan matang sebelum sampai ke tangan siswa. Eva menekankan, makanan matang hanya aman dikonsumsi dalam rentang 2–4 jam, dengan syarat suhu tetap terjaga. Makanan panas harus disimpan di atas 60 derajat Celsius, sedangkan makanan dingin seperti buah segar atau minuman olahan harus dijaga di bawah 5 derajat Celsius.
“Kalau makanan matang dibiarkan terlalu lama di suhu ruang, bakteri patogen bisa berkembang biak. Itu yang menyebabkan risiko keracunan meningkat,” tegasnya.
Ia menambahkan, meski makanan bisa dihangatkan kembali hingga mendidih, penyimpanan yang tidak sesuai standar tetap berisiko. Bakteri bisa berkembang selama jeda penyimpanan dan meski dipanaskan, toksin yang dihasilkan tetap bisa membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, proses distribusi harus dirancang dengan cermat agar makanan segera sampai ke siswa tanpa melewati batas waktu aman.
Baca juga:
Open House FP UB Dorong Mahasiswa Aktif Berorganisasi
Harapan ke Depan
Eva berharap, penyelenggaraan MBG dapat memperhatikan dua aspek secara seimbang: kualitas gizi dan keamanan pangan. Menurutnya, tujuan program ini adalah memastikan anak-anak tidak hanya kenyang, tetapi juga mendapat asupan yang sehat, higienis, dan bergizi.
“Penyelenggara harus memegang prinsip bahwa makanan untuk anak-anak adalah investasi masa depan bangsa. Jadi selain lezat dan bergizi, keamanan pangan tidak boleh dinegosiasikan,” pungkasnya.
Dengan penerapan standar gizi dan manajemen pangan yang tepat, program MBG diharapkan tidak hanya menjadi intervensi jangka pendek melawan kelaparan, tetapi juga pondasi kuat bagi generasi muda Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. (nid)