Saya dan orang yang mencukupi kebutuhan anak yatim di dalam sorga seperti ini, seraya berisyarat dengan mendekatkan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), demikian sabda Nabi dalam sebuah haditsnya.
Dalam sejarah keindonesiaan hingga muncul sebuah gerakan kepedulian yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah yang dilandasi oleh semangat teologi al maa’un yang di inspirasikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang terus menerus dibacanya dikala mengimami shalat subuh untuk memberikan peringatan kepada jamaahnya atas kepedulian terhadap kalangan kaum papa.
Islam sangat menganjurkan kepada ummat manusia untuk memiliki kepedulian yang tinggi atas anak yatim dan pula fakir miskin. Bahkan kepedulian atas hal ini merupakan wujud daripada keimanan seorang muslim. Bahkan Islam menetapkan lebih spesifik bukan hanya sekedar pada kepedulian semata, namun kepedulian yang dilakukannya haruslah dikelola dengan cara yang terbaik dan profesional dengan penuh tanggung jawab agar tidak merugikan orang lain, dalam hal ini anak yatim. Sebagaimana Firman Allah swt
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisa’ : 10)
Mengapa larangan memakan harta anak yatim sangat keras larangannya dari Allah swt? Hal ini karena anak yatim tidak memiliki kuasa untuk melakukan pembelaan sebab dirinya masih kecil, berada dalam posisi lemah dan tidak ada orang yang membelanya sebab orang tuanya telah tiada. Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa kepedulian terhadap kalangan masyarakat bawah dan lemah (mustad’afin) haruslah dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh dengan manajemen yang profesional. Jangan hanya karena yang menjadi objek tugas atau pekerjaan adalah orang lemah dan tak berdaya, lalu dalam pengelolaan pun dilakukan dengan asal-asalan dan tidak menunjukkan profesionalitasnya. Islam sangat menganjurkan agar dalam mengelola urusan apapun, terlebih yang berkaitan dengan urusan keuangan maka haruslah dilakukan secara profesional. Allah mengisaratkan dalam FirmanNya dalam quran surat al An’âm : 152 dan Al-Isra’: 34,
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡـُٔولٗا
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa, dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.
Makna larangan dalam hukum Islam tentu tidak hanya sekedar bermaksud agar seorang muslim menjauh dari perbuatan tersebut serta mencegah seseorang dari dampak buruknya, namun dibalik semua itu terdapat hikmah yang terkandung dalam penetapan hukum (hikmatut tasyri’). Salah satunya adalah anjuran bagi ummat islam untuk memiliki Kepedulian dan tanggung jawab sosial yang tjnggi terhadap berbagai persoalan masyarakat terkhusus bagi kalangan yang lemah bagi secara finansial maupun psikososial karena ketiadaan jaminan pengampuan atas dirinya. Pada realitas yang seperti ini Islam mendorong agar ummatnya memberikan kepedulian khusus. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat sosialis sebab kepeduliannya. Bahkan dengan penegasan larangan (haramnya makan harta anak yatim secara dhalim) juga memberikan makna bahwa pengelolaan kepedulian sosial itu haruslah dikelola secara profesional melalui cara-cara yang accountable, dapat dipertanggungjawabkan. Artinya harus ada proses administrasi pencatatan, mekanisme pola kerja serta transparansi pengelolaan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara baik.
Profesionalisme pengelolaan nilai-nilai kepedulian ini dapat berupa pelembagaan dalam sebuah organisasi (amaliah kejamaahan) sehingga dapat menjamin proses transparansi. Demikian pula nilai kepedulian ini haruslah menjadi perhatian dan tanggungjawab dari semua pihak, baik individu maupun lembaga. Artinya pelembagaan nilai-nilai kepedulian harus menjadi bagian integral setiap organisasi untuk mewujudkannya, dalam sebuah program corporate social responsibility (CSR).
Islam telah menjadi dasar bagi pelembagaan konsep social responsibilty (tanggungjawab sosial) dari setiap individu dan organisasi. Prinsip-prinsip yang dibangun dalam pengelolaan kepedulian itu, antara lain : profesionalisme, transparansi, akuntabel, sehingga akan mampu melahirkan kepercayaan dari setiap orang yang berujung pada kesediaan dari masing-masing orang lain untuk ikut terlibat (berpartisipasi). Islam juga menegaskan akan bolehnya menggunakan harta anak yatim dengan syarat dikelola dengan profesional yang dapat menguntungkan bagi si anak hingga dewasa. Sebagaimana Firman Allah swt Surat al An’âm ayat 152 :
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa
Kegiatan kepedulian sosial yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan sah-sah saja dalam mengambil keuntungan atau bernilai profitable dengan syarat bahwa keuntungan itu dipergunakan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat, artinya keuntungan yang diperoleh tetap kembali pada masyarakat. Ayat diatas juga memberikan sebuah kesan akan pentingnya membangun kemandirian sosial. Dalam konteks pengelolaan nilai kepedulian sosial (CSR) juga harus mampu membangun kemandirian masyarakat dengan mengoptimalkan potensi mereka sendiri agar kelak mereka mampu berdiri sendiri (social empowering) dan tidak terus merasa tergantung kepada orang lain melainkan mereka mampu terus mengembangkan dirinya (community development).
Allah swt selalu menyimpan rahasia teka-teki solusi kehidupan melalui ayat-ayatnya dan tugas para ulamanya atau kalangan cerdik pandai (ulul albab) untuk menemukan pesan solusif dari setiap FirmanNya itu. Semoga kita dimudahkan untuk menemukan rahasia atas solusi persoalan hidup dengan tuntunan alquran. Aamiiiin