Oleh : Prof Rachmat Kriyantono*
Gibran bertanya kepada Cak Imin dengan menyebut singkatan “SGIE”. Inilah contoh komunikasi menjebak yang tidak fair. Dalam debat, memang diajarkan komunikasi menjebak agar lawan kesulitan menjawab. Diharapkan, lawan akan mendapatkan citra negatif.
Tetapi, harus gunakan komunikasi menjebak yang fair, yakni menjebak dengan rasionalitas ilmiah. Komunikasi menjebak yang tidak fair akan membuat lawan bukan hanya negatif citranya, tapi, juga terlihat bodoh. Mestinya, lawan boleh negatif citranya karena kualitas jawabannya tentang suatu kebijakan publik atau program kerja. Tapi, jika dia takpaham kepanjangan suatu singkatan, yang lebih tampak adalah kesan bodoh.
Pertanyaan Gibran bisa masuk komunikasi menjebak yang fair jika Gibran menyebut bukan hanya singkatan, tetapi juga kepanjangannya. Dengan begitu, Cak Imin akan bisa menduga-duga artinya, dan memberikan jawaban. Biarlah publik merespon jawaban tersebut. Jangan menggiring publik untuk merespon negatif hanya karena Cak Imin takpaham sebuah singkatan.
Tidak Ada Orang yang Tahu Segala Hal
Mahasiswa sering saya tanya ELM & CMM. Banyak yang takpaham. Padahal keduanya adalah teori yang diajarkan dosen Dept Ilmu Komunikasi UB. Tapi, jika saya tanya “Elaborated Likelihood Model” & “Coordinated Management of Meaning”, mereka paham.
Seringkali, ada orang paham “sesuatu”, tapi, dia takpaham “sesuatu” itu tatkala disingkat. Saat disampaikan kepanjangannya, mungkin dia tidak mengerti tapi dia bisa menebak-nebak kata dalam kepanjangan singkatan tersebut. Contoh: Ada orang tidak paham SGIE, tapi, ketika disampaikan “State of the Global Islamic Economy”, dia bisa menebak: “oh ini pasti tentang ekonomi Islam”.
Ada orang yang paham “sesuatu” ketika disingkat, tapi, kepanjangannya tidak paham. Contoh: Ada orang tidak paham DPR, dia mengerti “Dewan” karena sering mendengar obrolan orang. Jadi ketika disebut “Dewan Perwakilan Rakyat”, dia bisa menebak kepanjangan DPR.
Perlukah Singkatan Dibawa Debat?
Untuk debat capres dan cawapres, tidak perlu membawa singkatan tanpa disebut kepanjangannya. Supaya terjadi komunikasi menjebak yang fair.
Debat capres-cawapres mestinya fokus pada tataran kebijakan makro negara. Kalaupun ada singkatan, selain dilengkapi kepanjangannya, singkatan tersebut harus pada level kebijakan makro negara.
Saya menduga, strategi singkatan tanpa kepanjangan ini bermula pada motif komunikator politik yang ingin menimbulkan kesan bodoh tertancap pada diri lawan politik. Komunikator tampak ingin memunculkan kesan “pintar” terhadap keraguan publik terkait isu nepotisme akibat keputusan MK yang melanggar etika.
Gibran tahu SGIE bisa karena menghafalnya dulu, sedang calon lainnya tidak. Jika dibalas singkatan lainnya, misalnya GKM (Gerakan Keluarga Maslahat), Gibran mungkin tidak paham karena belum menghafalnya.
Dalam Islam, sangat dilarang kita berpolitik atau mengalahkan.lawan politik dengan membuatnya malu. Orang Jawa juga punya komunikasi kearifan.lokal “Sugih tanpo bondho, digdoyo tanpo aji, ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”.
SGIE harus diberi kepanjangan karena bukan termasuk singkatan umum, seperi DPR, MPR, BKKBN dan.lainnya. Jika tidak, bisa muncul efek guyonan yang viral “Sego Goreng Iwak Empal”. Guyonan yang merupakan.komunikasi satire dari publik. (RK).
*) Prof Rachmat Kriyantono, Penulis adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi Fisip UB