Makna kebudayaan dalam tulisan ini, diambil dari Tarif Khalidi yang mengatakan bahwa “Kebudayaan pada dasarnya adalah pola pikir plus gaya hidup (thought pattern plus lifestyle)”. Saat kata kebudayaan disandingkan dengan koperasi, maka aktifitas berkoperasi merupakan aktivitas budaya yang diacukan pada pola pikir ber-koperasi dan ber-gaya hidup koperasi. Pola pikir, dan terlebih gaya hidup pasti memiliki hubungan fungsional yang erat dengan agama.
Aktivitas budaya yang berurat pada daya cipta dan rekayasa manusia, tidaklah bersifat statis namun sangat dinamis. Seandainya aktivitas budaya ini bersifat statis maka akan berimplikasi pada lahirnya stagnasi dan pada ujungnya akan mengundang pembusukan. Karena itulah, C.A. van Peursen berujar bahwa kebudayaan merupakan kata kerja dan bukanlah “sekedar” kata benda. Dalam konteks ini, koperasi dan aktivitas ber-koperasi sebagai aktivitas budaya mesti dinamis serta menghindari stagnasi dan pembusukan.
Dengan latar seperti itu, hubungan fungsional antara koperasi dengan agama sebagai “penuntun” pola pikir dan gaya hidup perlu dieksplorasi lebih dalam. Dengan tetap merawat hubungan fungsional tersebut, koperasi dapat mewujud sebagai institusi yang mengembangkan usaha-usaha kolektif dan partisipasi aktif anggota serta berujung pada tercipta-nya “moral cohesive communities”. Pada saat itulah, koperasi akan mampu merengkuh “collective economic goals” yang dicitakan-nya.
Ber-koperasi sebagai aktivitas budaya, menempatkan koperasi sebagai “bridging institution” yang memadukan antara “shared economic goals” dengan “transformation goals”. Dengan pola pikir dan gaya hidup yang padu dengan prinsip dan nilai koperasi, maka sejatinya koperasi akan mampu menjadi rumah “nahi mungkar” atas terjadinya Darwinisme Sosial yang tampak semakin kasat. Cita-cita Bung Hatta, tidaklah sekedar membangun koperasi sebagai institusi ekonomi semata, namun sekaligus sebagai institusi sosial. Dengan pola pikir, ber-koperasi sebagai aktivitas budaya, maka cita-cita pendiri bangsa tersebut tidaklah sekedar utopia.
Sehingga, penulis sangat terkejut, saat membaca tulisan R. William Liddle dalam Pengantar Buku “Manusia Autensitas dalam Dinamika Zaman” (2019) karangan Buya Safii Ma’arif. Dalam pengantar-nya, Liddle mengatakan “Indonesia yang ingin maju tidak bisa mengandalkan koperasi sebagai lembaga utama ekonomi-nya, seperti digagas Hatta”. Tulisan R. William Liddle ini semestinya dimanfaatkan sebagai bahan refleksi kritis bagi ko-operator di republik ini. Kajian dan praktek yang benar akan membentuk optimisme dalam ber-koperasi dan ber-budaya koperasi.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H
Mohon ma’af lahir batin …
SUBAGYO
Dosen FE Universitas Negeri Malang