Menjelang ulang tahun ke-16, Leland Stanford Jr wafat karena penyakit tipus. Orang tuanya, Leland Stanford dan Jane Stanford, raja kereta api dan Gubernur California, merasakan duka luar biasa. Kepada istrinya, barangkali sebagai penghiburan, Leland Sr bertitah pada hari kematian putranya: “Seluruh anak-anak California akan menjadi anak kita.” Ternyata, ucapan itu terkabulkan. Pada 1 Oktober 1891 berdirilah Universitas Stanford untuk menghormati dan mengenang putra tercinta mereka. Mahasiswa pertama berjumlah hampir 600 dan semuanya tidak dipungut biaya kuliah.
Selanjutnya, Universitas Stanford menjadi legenda: sampai kini menjadi kampus apik dunia. Peringkatnya selalu masuk 5 besar terbaik. Calon mahasiswa hebat dari berbagai belahan benua memimpikan bisa kuliah di sana. Perjalanan memang telah mengubah kampus tersebut, salah satunya tentu biaya kuliah yang tidak lagi murah. Ini kampus swasta sehingga tidak memperoleh donasi dari pemerintah. Namun, misi awal dibangunnya universitas ini dibaluri dengan nilai kemuliaan: memberikan kesempatan anak-anak mencecap pendidikan gratis.
Sejarah kampus di Indonesia belum selama di AS atau negara maju lainnya, baru seabad untuk kampus tertua (ITB). Di Bandung pada 1920 didirikan “Technische Hooge School” (THS) yang pada masa itu juga dijadikan perguruan tinggi negeri. THS ini adalah kecambah ITB. Setelah itu muncul kesadaran mendirikan kampus di kota-kota lainnya, dari mulai Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Malang. Pada 1957 di Malang tokoh masyarakat dan Ketua DPRD menginisiasi berdirinya kampus swasta, yang bernaung di bawah Yayasan Perguruan Tinggi Malang (YPTM), yang hanya terdiri dari Fakultas Hukum dan Ekonomi. Kuliah menumpang di gedung Balai Kota Malang.
Sejak itu, beberapa perubahan terjadi. YPTM membuka Perguruan Tinggi Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (PTHPM) pada 1 Juli 1957. Secara resmi PTHPM diakui sebagai milik Kotaparaja Malang dengan keputusan DPRD (19 Juni 1958). Saat Dies Natalis ketiga, PTHPM menggunakan nama Universitas Kotapraja Malang. Selanjutnya, pembiayaan menjadi kendala utama penyelenggaraan kuliah. Pada 11 Juli 1961 dikonversi menjadi kampus negeri dan oleh Presiden Sukarno diberi label: Universitas Brawijaya (UB). Ujungnya, UB dikukuhkan pada 5 Januari 1963 (Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan/PTIP No. 1 Tahun 1963), yang sampai sekarang diperingati sebagai hari lahir.
Episode kelahiran dan perkembangan UB tentu jauh lebih kaya dan rumit dari deskripsi tersebut. Tiga pesan dari sejarah UB bisa disarikan dari riwayat itu. Pertama, kampus lahir dari detak rakyat (yang diwakili tokoh masyarakat) sehingga mencerminkan kesatuan denyut nadi warga. Kedua, kampus dimintakan menjadi universitas negeri karena keterbatasan dana sehingga negara (pemerintah) mengambil alih urusan tersebut. Pendidikan ialah salah satu amanah pokok di dalam konstitusi. Ketiga, nama Brawijaya diharapkan sebagai pantulan dari nilai-nilai kepeloporan, keberanian, kesucian, keberpihakan, dan keyakinan.
Sekarang UB telah menjadi gurita. Prestasi dosen, mahasiswa, dan jejak alumni menjadi ular cerita. Aneka karya diproduksi dan ilmu pengetahuan dibiakkan. Ranking kampus terus menanjak dan menjadi kampus bereputasi di Indonesia. Setiap tahun animo calon mahasiswa yang ingin masuk ke UB berjubel, bahkan menjadi kampus dengan jumlah pendaftar calon mahasiswa terbanyak di Indonesia. Ketika ajang prestisius lomba riset mahasiswa nasional digelar tiap tahun (Pimnas), UB adalah langganan juara umum. Tak ada kampus lain yang bisa mengungguli. Ini sebagai pengakuan atas proses dan kredibilitas pembelajaran.
Sungguh pun begitu, tiga refleksi pokok perlu diajukan. Sebagai kampus negeri, yang dulu latarnya didasari oleh keterbatasan dana, apakah biaya kuliah sekarang makin bisa dijangkau oleh anak bangsa? Gedung jangkung menjulang apakah menjadi tempat yang ramah bagi kaum pinggiran yang hendak mengubah nasib ataukah semata simbol industrialisasi kampus? Sebutan kampus rakyat akan bermakna bila -salah satunya- warga negara bisa mencicipi pengetahuan tanpa dicekam oleh mahalnya ongkos. Ini yang membedakan peran etis kampus milik negara dan swasta.
Berikutnya, kampus tegak berdiri sebab berlangsung investasi pengetahuan dan gagasan. Nalar menjadi pedoman. Laboratorium semerbak dengan temuan dan penciptaan. Publikasi akademik dalam aneka rupa wujud wajib silih berganti dicetak. Identitas kaum yang berada di dalamnya diukur dari penguasaan dan kredibilitas pengetahuan, bukan produktivitas komentar kebencian yang diumbar dalam forum tanpa mimbar (akademik) pertanggungjawaban. Hasrat mengembangkan pengetahuan wajib melampaui keasikan mengurus kekuasaan. Semoga mandat ini dihayati dengan bening oleh penghuni Kampus Ketawanggede.
Terakhir, semesta bergerak dan berselancar dalam gelombang teknologi informasi. Peradaban ditopang oleh kemajuan teknologi dan ilmu yang disemai oleh penghargaan atas kemajemukan dan toleransi. Pengetahuan melahirkan kehidupan yang unggul. Kemajemukan mendorong tiap orang atau bangsa saling mentransaksikan pengalaman, kearifan, dan kebudayaan. Toleransi menjamin ruang perbedaan tumbuh dan saling memekarkan sehingga kehidupan bersama bisa disangga. Kampus biru harus menjadi tungku berkobarnya api darma tersebut, persis seperti elan masa berdirinya.
Sejak peringatan Dies Natalis UB ke-44, 5 Januari 2007, diperkenalkan motto anyar Universitas Brawijaya: “Building up Noble Future” (membangun kemuliaan masa depan). Kemuliaan menyembul bila nilai kerakyatan, keragaman, dan pengetahuan diletupkan dengan tangki kesadaran. Itu semua akan dicapai bila kampus menyemaikan kebebasan. Keyakinan ini pula yang diteguhkan Universitas Stanford via visi (yang dipilih oleh suami-istri Stanford) yang berasal dari percikan pemikiran Ulrich von Hutten: “Die Luft der Freiheit weht” (angin kebebasan yang berhembus). Selamat Dies Natalis ke-58, Universitas Brawijaya!
Ahmad Erani Yustika, Ketua Umum IKA UB