KANAL24, Surabaya – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, menghadiri diskusi bertema “Tantangan Apersi di Era Digitalisasi Perijinan yang Semakin Kompleks”, yang digelar Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPD Apersi Jatim) di hotel Sheraton Surabaya, Rabu (4/10/23).
Dalam pemaparannya, Nurul Ghufron menyatakan Tingginya kebutuhan rumah dalam 10 tahun kedepan yang tidak mampu disediakan pemerintah, dinilai menjadi peluang untuk developer maupun pengembang. Namun, situasi ini juga menjadi peluang munculnya pungli, gratifikasi dan pemerasan yang berdasarkan fakta dilakukan oleh aparatur negara.
“Kebutuhan rumah dalam 10 tahun kedepan bertambah 70 persen. Bila jumlah kepala keluarga 60 juta dan kebutuhan rumah bertambah 20 persen, maka akan ada kebutuhan 12 juta dalam 10 tahun kedepan. Artinya ada demand satu juta rumah setiap tahun,” lanjutnya.
Nurul Ghufron menambahkan, salah sektor yang masih banyak suap dan gratifikasi adalah bidang pertanahan. Sebab, ketika bicara tanah di dalamnya ada sektor perumahan.
“Dalam prosesnya bidang ini membutuhkan banyak perijinan dari negara yang tidak memiliki kepastian karena tindakan aparat yang terkait,” lanjut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Pimpinan KPK yang berlatar belakang akademisi ini, menyebutkan terdapat lima faktor penyebab terjadinya suap, pemerasan hingga korupsi. Diantaranya, ketidakpastian waktu dan biaya, ketidakjelasan syarat dan ketentuan prosedur, tidak transparan atau dilakukan secara tertutup, tidak akuntabel dan tidak adil.
Nurul Ghufron juga mengatakan dalam pemberantasan korupsi, KPK merasa tidak cukup dengan hanya melakukan kegiatan penindakan semata, namun juga perlunya tindakan pencegahan dengan perbaikan sistem.
“Sudah ada 2 Kakanwil pertanahan kami tangkap. Beberapa kepala kantor pertanahan Kabupaten Kota sudah ditangkap. Tetapi itu tidak menyelesaikan masalah karena ekornya masih bergerak,” jelas pria kelahiran Sumenep, Madura ini.
Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elistianto Dardak, yang hadir mewakili Gubernur Jawa Timur, mengakui proses perijinan yang berbelit-belit dalam birokrasi. Bahkan, Emil menyebut digitalisasi perijinan yang coba dilakukan justru tidak bisa berjalan karena tidak mempertimbangkan bisnis proses.
“Yang jadi kendala juga salah satunya ketika pemerintah tidak transparan soal perijinan. Orang akan jadi bertanya-tanya, apakah kurang koneksi dengan pejabat, kurang ‘sopan’. Hal-hal seperti ini yang perlu kita benahi dan lakukan introspeksi. Dari sini kita harapkan resume pertemuan ini bisa kita dorong bersama dengan KPK ke Dinas Penanaman Modal lewat kerangka peraturan daerah, peraturan gubernur, serta eksekusi peraturan lainnya,” kata Emil.(sdk)