oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Sebagaimana dipahami bahwa komunikasi manusia adalah sebuah hasil proses interaksi, yaitu interaksi dari apa yang ada pada dirinya baik berupa faktor potensi jasadiyah fisik (semisal otak, tubuh, genitas, dan sebagainya), faktor potensi ruhiyah spiritual (semisal keyakinan, keagamaan, pemahaman nilai-nilai), faktor potensi gharizah (naluri, instink, intuisi yang berpusat pada hati), faktor potensi albi’ah atau lingkungan (interaksi sosial, significant other, almaklumat assabiqah, informasi sebelumnya berupa pengalaman ataupun hasil proses pendidikan). Kesemua faktor ini membentuk pola pikir, pola tindak hingga gaya dan kualitas komunikasi seseorang.
Sebagaimana dalam pandangan biologi komunikasi yang berkembang selama ini menyatakan bahwa konstruksi komunikasi seseorang sangat ditentukan faktor fisik yang berpusat pada otak. Sementara dalam perspektif profetik bahwa komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor keyakinan yang ada dalam hati. Namun perspektif profetik tetap mempercayai bahwa faktor jasadiyah fisik seseorang juga turut berdampak pada kualitas komunikasi seseorang. Untuk itu salah satu dari maqashid syar’iyah (tujuan dari ditetapkannya syariat atau aturan) dalam pandangan profetik menjaga aqal manusia (hifdhul aql) agar manusia dapat menjaga akal pikiran sehingga tetap bisa memproses pikiran agar menghasilkan realitas komunikasi yang baik, untuk itu Islam melarang untuk mengkonsumsi minum-minuman keras.
Termasuk dalam upaya penjagaan kualitas komunikasi manusia menurut pandangan profetik adalah dilarang melakukan pernikahan sedarah atau yang dikenal incest. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu :
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’, Ayat 23)
Dilarangnya incest adalah cara menjaga agar kualitas komunikasi manusia tetap berlangsung dengan baik dan harmonis. Dalam ilmu biologi, incest atau pernikahan sedarah sangat dilarang karena dapat menyebabkan berbagai macam cacat atau kelainan pada anak yang akan dilahirkan. Secara genetis, jika sesorang menikah dengan gen yang berasal dari keturunan yang sama maka akan terjadi mutasi. Mutasi tersebut selanjutnya akan menimbulkan masalah pada anak yang dilahirkan seperti cacat tubuh, penyakit mental (idiot, debil, imbisil) penyakit metabolisme seperti diabetes, hutington dan lain sebagainya. Termasuk pula berbagai penyakit lainnya seperti kelainan jantung bawaan, kaki bengkok, bibir sumbing, hingga down syndrome, gangguan mental pada anak, cacat fisik, gangguan intelektualitas yang parah, tingkat pertumbuhan lambat, kanker, sistem kekebalan (imun) tubuh yang lemah, hingga rawan jatuh sakit, badan kerdil. Incest dianggap sebagai masalah kemanusiaan karena praktik ini membuka kesempatan berbagai penyakit serius sehingga berpengaruh pada karakter, perilaku, watak dan sifat manusia. Semua ini tentu dapat merusak kualitas komunikasi individu.
Hikmah dilarangnya perkawinan sedarah karena maksud pernikahan adalah untuk memperluas hubungan kekerabatan dengan harapan agar terjalin hubungan yang luas antar sesama manusia dan terbangun jejaring komunikasi yang mampu membangun berbagai realitas sosial yang dinamis. Hal ini sebagai wujud dari maksud diciptakannya manusia. Sebagaimana Firman Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS. Al-Hujurat, Ayat 13)
Meluasnya jejaring komunikasi adalah salah satu maksud dari pernikahan sehingga mampu menghubungkan suku-suku dan bangsa yang berbeda. Akan lahir dari proses pernikahan yang demikian adalah proses belajar antar budaya, lahirlah komunikasi antar budaya yang bertugas untuk share value, persepsi, world view, dialog habits, yang memungkinkan lahirnya konflik, prejudice, empati dan sebagainya.
Dilarangnya incest memungkinkan hubungan Komunikasi antar budaya semakin dinamis dengan semakin terbukanya ruang informasi, yaitu setiap orang memungkinkan dapat mengurangi berbagai ketidakpastian yang dihadapinya dalam interaksi sehingga mengurangi tingkat stress atas suatu realitas sekaligus menambah pengetahuan atas berbagai realitas berbeda yang awalnya tidak diketahui sehingga mampu menjadi pengetahuan baru. Demikian pula dengan pengetahuan atas berbagai perbedaan melalui jejaring komunikasi yang semakin luas memungkin setiap orang bersedia berempati dan memahami budaya yang berbeda sehingga mampu menempatkan diri dengan baik dalam berinteraksi antar manusia serta mampu meredam konflik yang ada serta dengan pengenalan atas perbedaan yang ada memungkinkan dapat menguatkan integrasi sosial serta mencapai tujuan organisasi.
Suatu ketika Rasulullah mendorong sahabat zaid bin Tsabit untuk belajar bahasa yahudi, maksud nabi sangat strategis yaitu agar nabi dapat mengetahui apa maksud mereka, artinya agar terbuka ruang informasi bagi nabi atas berbagai hal yang tidak diketahui atas budaya yang berbeda. Sehingga nabi akan dengan mudah bagaimana harusnya bersikap. Demikianlah bahwa dengan semakin luasnya jaringan komunikasi maka memudahkan seseorang untuk mengetahui berbagai hal yang tidak diketahuinya. Inilah hikmah pelarangan dari menikahi keluarga sedarah.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB