Misi utama diutusnya para nabi dan rasul adalah memerdekakan manusia dari penyembahan pada sesama makhluk menuju penyembahan hanya semata kepada Allah swt sang maha pencipta. Karena sangatlah tidak rasional seorang manusia menyembah pada manusia, atau manusia menyembah pada sesama makhluk. Sementara makhluk memiliki keterbatasan, bagaimana mungkin manusia menyembah pada yang memiliki keterbatasan dan kelemahan. Logika rasional pengabdian harusnya seorang manusia menyembah pada yang tidak memiliki kelemahan dan kekurangan sedikit pun, dan hal itu hanyalah dimiliki oleh Sang Maha Pencipta yang Maha Sempurna.
Demikianlah yang dilakukan oleh Nabiyallah Ibrahim, yang telah berani memerdekakan dirinya sendiri, memerdekakan alam pikirannya dengan menolak menyembah pada makhluk yang lemah dan terbatas. Sebagaimana diabadikan dalam alquran surat al An’am ayat 74-79. Yang menceritakan bagaimana proses Nabiyallah Ibrahim memerdekakan pikirannya dari penyembahan pada makhluk.
Rasionalitas Ibrahim mampu memandu cara berpikirnya bahwa bagaimana mungkin seorang manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan menyembah berhala yang tak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa memberikan kemanfaatn, kebaikan dan keburukan. Itulah yang diprotes oleh Nabi Ibrahim atas bapak asuhnya atau pamannya, bernama Azar.
Kemudian Nabi Ibrahim juga melakukan dialog intelektual dengan dirinya sendiri untuk memerdekakan pikirannya, disaat beliau “mencari Tuhan”, dia takjub dikala bintang mampu menyinari malam sehingga sebagian manusia mengagungkannya, tapi rasionalitas akal spiritualnya menolak sebab cahaya sang bintang ternyata redup oleh sinar rembulan. Dan rembulan pun demikian, cahayanya ternyata mampu dikalahkan oleh terang benderangnya mentari, namun mentari pun terbenam dikalahkan oleh sang malam. Sehingga kesimpulan Ibrahim bahwa tidaklah mungkin Tuhan itu terbenam dan memiliki segudang kelemahan, bagi Ibrahim bahwa Tuhan itu haruslah meliputi segalanya, berkuasa dengan kekuasaan yang sepenuhnya. Sehingga ibrahim menyatakan kesimpulan :
إِنِّي وَجَّهۡتُ وَجۡهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ حَنِيفٗاۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (QS. Al-An’am : 79)
Ibrahim telah mampu memerdekakan pikirannya untuk menyembah hanya pada Tuhan Yang Esa, Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan menjauhkan diri dari penyembahan pada sesama makhluk, demikian pulalah yang menjadi misi dari para Nabi dan Rasul lainnya. Semua mereka hanya membawa satu misi yang sama yaitu memerdekakan manusia menuju penyembahan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Risalah Rasulullah Muhammad juga demikian, yaitu hanyalah dalam rangka mengajak atau memerdekakan manusia untuk percaya pada keEsaan Tuhan dan menjauhkan dari mempersekutukannya, atau menyembah pada sesama makhluk. Sehingga kalimat pertama yang diperkenalkan adalah penolakan atau peniadaan (naafii) terhadap segala bentuk penyembahan atas segala apapun yang dipertuhankan dari kalangan makhluk, baik berupa benda maupun materi duniawi lainnya, sepertu berhala, manusia, jin, harta termasuk pikirannya sendiri dan kemudian dipertegas bahwa menyembah hanyalah pada Allah Tuhan Yang Esa, sebagaimana terangkum dalam makna kalimat tauhid sebagai kalimat persaksian (syahadat) :
لا اله الا الله محمد رسول الله
Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah.
Sehingga makna kemerdekaan sebenarnya adalah memerdekakan manusia dari penjajahan, yaitu memerdekakan dari ketundukan atas makhluk dengan menegaskan atas kemandirian bahwa menyembah itu hanyalah pada Allah swt semata. Sebagaimana dalam FirmanNya :
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (QS Al-Anbiya’ : 25)
Ayat ini memberikan kesan bahwa dengan diletakkannya ayat ini pada nama surat al Anbiya’ (para nabi) mengesankan sebuah pesan bahwa ujung ajakan dari para nabi dalam berdakwah adalah untuk mentauhidkan Allah swt semata. Artinya para Nabi memiliki misi mulia yaitu untuk memerdekakan manusia dari penyembahan pada sesama makhluk menuju penyembahan hanya pada Allah swt semata.
Sehingga manusia merdeka sejatinya adalah manusia yang dalam peribadatannya tidak terjajah oleh sesama makhluk berupa harta benda duniawi, melainkan hanya kepada Allah swt. Karena itulah Sayyidana Ali k.w. menyatakan bahwa jika seseorang beribadah dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dan pahala maka orang seperti ini belumlah merdeka, melainkan mereka masih tersandera oleh dunia (ibadah tipe pedagang, ibadatut tujjar). Sementara mereka yang beribadah karena diliputi rasa ketakutan yaitu sebab takut akan siksa neraka maka mereka sejatinya adalah orang-orang yang terjajah, ibarat para budak yang tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan.
Seyogyanya manusia dalam beribadah adalah semata karena rasa syukur yang tinggi sehingga beribadahnya tanpa diliputi kepentingan dunia dan rasa ketakutan apapun, dan dia beribadah hanyalah kepada Allah swt semata maka itulah ciri orang merdeka. Orang yang terbebas dari pengabdian dan penghambaan atas makhluk dan menyerahkan dirinya secara total kepada Allah swt yang maha berkuasa atas alam semesta ini maka inilah sejatinya makna kemerdekaan itu. Dan itulah misi utama dari kerasulan Nabi Muhammad saw, sebagaimana Firman Allah swt :
قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ
Katakanlah, “Sesungguhnya aku (Muhammad) diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az-Zumar : 11)
Untuk itu, jadilah manusia merdeka yaitu manusia yang tunduk patuh semata hanya pada Allah swt dan terbebas dari keterjajahan hawa nafsu dan terlepas dari sandera duniawi. Seorang manusia yang beribadah didasari oleh rasa syukur yang tinggi atas penciptaan dirinya sehingga sadar sepenuhnya bahwa keberadaannya di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah swt semata dengan tidak mempersekutukanNya.
Semoga diri kita termasuk manusia yang benar-benar merdeka dan selalu mendapatkan bimbinganNya untuk tetap berada di jalanNya yang lurus dan mendapatkan selalu ridho-Nya. Aamiiin
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar