oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Konsepsi profetik telah menempatkan sikap pelayanan sebagai perwujudan dari sebuah keimanan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberikan suatu kesan bahwa tamu adalah seakan sebagai “utusan” dari Allah swt yang diperintahkan untuk mendatangi seseorang dengan membawa banyak keberkahan dan rezeqi. Setidaknya keberkahan itu berupa bertambahnya kebaikan bagi seseorang yang mampu melayani tamu dengan penghormatan yang terbaik. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya yaitu jaizah-nya. Para shahabat bartanya apa yang dimaksud dengan jaizah itu? Rasulullah menjawab, ”Jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam (dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya).” (HR Bukhari dan Muslim).
Menariknya, pemuliaan terhadap tamu dalam perspektif profetik dikaitkan dengan persoalan keimanan kepada Allah swt dan hari akhir. Seakan Allah ingin mengatakan bahwa memuliakan tamu adalah ibarat memuliakan Allah swt melalui menebarkan kebaikan kepada orang lain dengan kebaikan yang telah diajarkan oleh Allah. Dan Allah adalah pemilik segala kebaikan. Sehingga memuliakan tamu adalah perwujudan atas keimanan atau keyakinannya pada Allah sebagai pemilik kebaikan.
Secara kontekstual dalam pelayanan maka mindset yang harus dibangun oleh setiap pemberi atau petugas pelayanan adalah harus memuliakan para tamu (guest) yaitu para pelanggan atau publik layanan dengan memberikan layanan terbaik sebagai wujud implementasi dari keimanan kepada Allah swt. Dan mengecewakan tamu dengan tindakan buruk maka sama halnya dengan mengecewakan Allah swt.
Demikian pula bahwa memuliakan tamu terkait dengan keyakinan atas hari akhir. Hal ini seakan memberikan kesan bahwa segala sikap yang kita tampakkan dihadapan para tamu (apakah prima atau cuek tidak peduli) sangat berkorelasi atas dampak yang akan diperolehnya kelak di akhirat. Sehingga konsepsi ini mendorong agar para pemberi layanan berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam berkomunikasi pelayanan atau dalam bertindak saat memberikan pelayanan kepada publik agar dapat memuaskan sebab segala tindakan komunikasi seseorang dalam melayani orang lain akan dimintai kewajiban.
Hal senada dapat dipahami dalam prinsip komunikasi bahwa bersifat irreversible yaitu pesan komunikasi itu tidak akan kembali dengan kata lain sekali ucap atau sekali tindak dan manakala telah diproduksi suatu pesan maka akan sulit dan tidak dapat kembali lagi atau ditarik kembali. Sehingga konsekwensinya adalah bahwa seorang petugas pelayanan haruslah berhati-hati manakala sedang berkomunikasi atau berinteraksi dengan publik layanan agar tidak salah komunikasi dan bertindak yang membuat kecewa publik. Sebab kekecewaan akan melahirkan ketidakpuasan dan menghilangkan loyalitas.
Kesimpulannya bahwa komunikasi pelayanan publik yang terbaik, penuh inovasi, tanggungjawab, penuh perhatian adalah bentuk nyata dari keimanan seseorang yang bersifat transendental sehingga komunikasi pelayanan haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui tindakan komunikasi yang prima dan inovatif.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB