oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Surat pertama dalam Al Quran adalah surat al Fatihah (pembuka). Dikenal pula dengan sab’ul matsaaniy, yaitu surat yang terdiri dari tujuh ayat yang paling sering diulang-ulang. Setidaknya minimal dibaca berulang-ulang 17 kali dalam shalat lima waktu. Ayat pertama dari surat al Fatihah dimulai dengan kata Alhamdulillahi, artinya segala puji bagi Allah. Kata kedua yang paling banyak disebut setelah kata Bismillahirrahmanirrahim. Jika kalimat basmalah adalah kalimat pembuka dalam setiap tindakan, maka kalimat hamdalah adalah penutup dari seluruh tindakan manusia.
Kalimat alhamdulillah (الحمد لله) sebenarnya berasal dari susunan kalimat حمدت حمدا لله, artinya aku telah memuji dengan suatu pujian untuk Allah. Namun untuk efektifitas kalimat maka حمدت dibuang. Sehingga menjadi حمدا لله، yaitu menempatkan kata benda dasar ( المصدر ) tanpa menyebutkan kata kerjanya ( الفعل ). Selanjutnya ditambahkan huruf alif dan lam ( أل ) sebagai tanda ma’rifah pada kalimat tersebut menjadi الحمد لله, yang menunjukkan makna keberlangsungan selamanya ( الدوام ) dan kontinuitas ( الإستمرار ). Sehingga dengan tidak menggunakan kata kerja (الفعل) baik lampau (المضي) sekarang dan akan datang (المضارع), namun menggantinya dengan kata benda dasar (المصدر) maka hal ini memberikan suatu kesan bahwa pujian atau rasa syukur tersebut dibatasi oleh ruang waktu dan tempat dan harus dihadirkan setiap saat kapan pun dan dimanapun. Hal ini dapat kita jumpai dalam beberapa ayat Al Quran:
دَعۡوَىٰهُمۡ فِيهَا سُبۡحَٰنَكَ ٱللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمۡ فِيهَا سَلَٰمٞۚ وَءَاخِرُ دَعۡوَىٰهُمۡ أَنِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Doa mereka di dalamnya ialah, “Subhanakallahumma” (Mahasuci Engkau, ya Tuhan kami), dan salam penghormatan mereka ialah, “Salam” (salam sejahtera). Dan penutup doa mereka ialah, “Al-Hamdu lillahi Rabbil ‘alamin” (segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam). (QS. Yunus, Ayat 10)
وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلِيّٞ مِّنَ ٱلذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيرَۢا
Dan katakanlah, “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia seagung-agungnya. (QS. Al-Isra’, Ayat 111)
Kalimat alhamdulillah adalah tanda syukur makhluk atas segala karunia yang telah diberikan oleh Allah swt dengan nikmat yang tidak pernah putus. Sehingga bersyukur haruslah terus menerus diwujudkan sebagai tanda berterima kasih atas nikmatNya itu. Sehingga suatu ketika disaat Rasulullah ditanya oleh putrinya, sayyidah Fatimah akan ibadahnya yang sangat hebat hingga kaki beliau bengkak. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَتَّى تَرِمَ أَوْ تَنْتَفِخَ قَدَمَاهُ فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
i shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat hingga kaki beliau bengkak, lalu dia katakan kepada beliau, namun beliau menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 5990).
Dalam konteks yang lebih spesifik di kajian komunikasi pelayanan publik, maka kalimat alhamdulillah dalam surat al fatihah ini memberikan suatu kesan dan inspirasi bahwa komunikasi pelayanan publik haruslah dibangun atas prinsip-prinsip berikut:
1. Komunikasi pelayanan publik adalah praktek komunikasi yang dibangun atas perasaan bahagia. Suatu suasana hati yang berada dalam keadaan atau perasaan senang dan tenteram yaitu bebas dari segala yang menyusahkan. Perasaan bahagia ini bermula dari pikiran yang tenang dan damai kemudian mendorong sikap dan tindakan yang penuh semangat, bahagia dan menyenangkan. Sikap ini muncul dalam tindakan dengan wujudnya semangat untuk membantu orang lain, memudahkan dan mempercepat proses pelayanan. Keadaan demikian yang akan melahirkan suasana bahagia bagi organisasi.
2. Komunikasi pelayanan publik haruslah dimotivasi oleh semangat pengabdian. Sebagaimana dipahami bahwa kalimat alhamdulillahi rabbil ‘alamiin adalah ucapan syukur kepada Tuhan semesta alam. Wujud rasa syukur adalah mengabdikan dirinya kepada Tuhan semesta alam dan bentuk pengabdian itu terimplementasikan dalam praktek pelayanan secara objektif.
3. Menghadapi persoalan dan complaint selama proses pelaksanaan komunikasi pelayanan publik haruslah dilakukan dengan penuh rasa syukur, penerimaan dengan filosofi kalimat terima kasih yaitu menerima setiap masukan dan kritikan kemudian memberi (kasih) kebaikan berupa sikap positif karena telah memberi tahukan kekurangan yang ada sebagai modal untuk melakukan perbaikan dan perubahan pelayanan ke arah yang lebih baik.
4. Komunikasi pelayanan publik adalah kegiatan yang lebih mengedepankan kenyamanan bagi para pengguna baik kenyamanan fisik maupun psikis. Kenyamanan fisik berupa kenyamanan tempat, fasilitas dsb. Kenyaman psikis berupa cara penerimaan dan pola hubungan. Kenyamanan pada yang kedua ini cenderung lebih berdampak daripada yang pertama. Untuk itu sebagai wujud penciptaan kenyamanan psikis itu maka awali pelayanan dengan senyuman dan akhiri dengan ucapan terima kasih.
Beberapa prinsip nilai diatas adalah konsepsi ideal yang layak diwujudkan dalam realitas komunikasi layanan publik yang mengedepankan nilai-nilai profetik.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB