Kanal24, Malang – Perubahan pola penggunaan tanah di Indonesia kian kompleks. Tanah yang semula digunakan untuk tujuan sosial kini berubah menjadi alat komersial. Hal ini menimbulkan berbagai masalah hukum, terutama bagi Warga Negara Indonesia (WNI) pemegang Hak Milik atas tanah yang seringkali menghadapi persoalan hukum terkait penggunaan Hak Pakai oleh Warga Negara Asing (WNA). Fenomena ini menjadi fokus penelitian Made Raka Kusuma Anggarda Paramita SH., M.Kn. dalam disertasinya berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia Pemegang Hak Milik Atas Tanah Terhadap Pengguna Hak Pakai Oleh Warga Negara Asing”.
Dalam disertasinya ia menjelaskan, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan berbagai peraturan turunan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015, dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 juncto Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, mengatur tentang pemberian Hak Pakai kepada WNA.
Namun, ketidakjelasan regulasi mengenai batasan luas tanah dan jangka waktu pemberian Hak Pakai kepada WNA menciptakan ketidakpastian hukum. Jangka waktu Hak Pakai yang bisa mencapai hingga 80 tahun dianggap terlalu panjang dan membuka celah eksploitasi oleh WNA, seperti penggunaan tanah untuk bisnis komersial yang tidak sesuai peruntukannya.
Melalui pendekatan Yuridis Normatif, Made Raka mengungkapkan bahwa regulasi yang ada saat ini belum memberikan rasa keadilan dan perlindungan hukum bagi WNI. Notaris, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan keadilan dalam perjanjian tanah, juga dinilai belum optimal dalam memberikan perlindungan hukum. Hal ini menimbulkan potensi kerugian material dan immaterial bagi pemilik tanah WNI.
Disertasi ini menyoroti perlunya revisi regulasi tentang Hak Pakai bagi Warga Negara Asing (WNA) dengan beberapa rekomendasi utama. Pertama, jangka waktu Hak Pakai perlu dibatasi agar tidak terlalu lama, sehingga tetap melindungi kepentingan pemilik tanah. Kedua, perlu ada batasan luas tanah yang dapat diberikan Hak Pakai kepada WNA untuk mencegah monopoli lahan.
Ketiga, pengawasan pemerintah harus diperketat untuk memastikan tanah dengan Hak Pakai digunakan sesuai peruntukannya, yaitu sebagai tempat tinggal, bukan untuk bisnis komersial. Terakhir, notaris diharapkan memberikan penyuluhan hukum secara mendalam untuk melindungi hak-hak pemilik tanah dan memastikan semua pihak memahami implikasi hukum dari Hak Pakai.
Sementara itu, Dr. Hanif Suhariningsih, S.H., S.U., selaku Dosen Ko-Promotor, menegaskan bahwa permasalahan ini mencakup dua aspek utama: ketidakadilan jangka waktu dan ketidaksesuaian penggunaan Hak Pakai. Ia menekankan pentingnya pengawasan terhadap penggunaan Hak Pakai agar tidak disalahgunakan untuk aktivitas bisnis.
“Perlu adanya tinjauan ulang dan pengawasan ketat terhadap implementasi Hak Pakai untuk menjaga keadilan bagi pemilik tanah,” ujar Dr. Hanif.
Dalam Disertasi ini, Made Raka menyarankan agar pemerintah segera menerbitkan regulasi baru yang lebih rinci dan tegas. Regulasi ini harus mencakup klasifikasi jelas mengenai luas tanah, jangka waktu, dan peruntukan Hak Pakai. Selain itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, notaris, dan masyarakat untuk memastikan perlindungan hukum yang maksimal bagi WNI.
Disertasi Dr. Made Raka Kusuma Anggarda Paramita ini memberikan kontribusi penting dalam menciptakan regulasi yang adil dan melindungi hak-hak WNI. Dengan implementasi regulasi yang tepat, diharapkan tanah milik WNI tidak lagi menjadi objek eksploitasi, melainkan mampu memberikan manfaat maksimal bagi pemiliknya dan masyarakat secara umum. (nid/zid)