Islam adalah agama para pemberani khususnya berani menolak dan menentang segala bentuk kemungkaran dan kedhalimin yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan. Hal ini dapat ditemukan dari kalimat deklarasi seorang muslim saat memasuki pintu keislamannya, yaitu kalimat syahadat, “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah”.
Kalimat syahadat ini diawali dengan huruf لا (laa) yang artinya adalah “tidak”. Sebuah kata yang merujuk pada sikap berani menolak sekaligus meniadakan (an nafiy) atas segala apapun yang diucapkan setelahnya yaitu ilaah (tuhan, sesuatu yang sembah, diagungkan) dan setelah meniadakannya kemudian ditegaskan dengan kalimat peneguhan atas Allah dengan ssbelumnya menggunakan huruf istisna’ untuk mengecualikan sekaligus menegaskan. Sehingga kalimat ini memberikan sebuah pesan bahwa seorang yang telah menyatakan dirinya muslim adalah seorang yang bersedia untuk menolak segala apapun ketidakbenaran yang sejatinya adalah sebuah kemungkaran dan kemudian menegaskan kebenaran sejati yaitu hanya tunduk pada Allah swt semata.
Ajaran islam memberikan perhatian serius dalam persoalan penolakan atas kemungkaran dan melarang ummatnya untuk bersikap diam. Bahkan sikap diam disamakan sebagai sebuah tanda derajat keimanan yang paling rendah. Sebagaimana dalam sabda Nabi :
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
وفي رواية : ليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa apabila seseorang telah menyatakan keimanannya maka tidak boleh berdiam diri atas kemungkaran. Berdiam atas kemungkaran oleh Nabi dianggap sebagai seseorang dengan maqam derajat keimanan yang paling lemah yang tidak lagi nilai keimanan yang dapat merepesentasikan keimanannya. Sehingga berdiam atas realita kemungkaran sebenarnya sedang mendeklarasikan tingkat keimanannya. Artinya kemungkaran terjadi bukan karena tidak ada kebaikan namun melainkan karena kebanyakan orang baiknya berdiam diri tidak menyuarakan sebuah penolakan.
Penolakan atas kemungkaran (nahiy mungkar) haruslah lebih di dahulukan daripada sekedar mengajak orang pada kebaikan (amar ma’ruf). Walaupun menolak kemungkaran amat berat dan beresiko. Sebagaimana sabda nabi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: ( مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ؛ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ ) – رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah, ‘Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu ‘anh, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh) (HR. Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337)
Disaat terkait dengan ajakan pada kebaikan (amar makruf) nabi memerintahkan agar ummatnya mengerjakan kebaikan semampunya saja tanpa harus memaksanakan diri untuk memenuhinya, hal ini tampak dari penggunaan kata amar (perintah), فافعلوا namun diberi batasan مااستطعتم (semampu yang bisa dikerjakan) sehingga memberikan sebuah kesan bahwa perintah mengajak pada kebaikan tidaklah setegas sebagaimana perintah menolak kemungkaran. Sebaliknya disaat berbicara kemungkaran maka nabi dengan tegas minta untuk menjauhinya sebagaimana dalam penggunaan kata kerja perintah (fiil amar) tanpa memberikan ruang pengecualian sedikitpun. Sehingga penolakan atas kemungkaran jauh lebih diutamakan dan didahulukan dari pada sekedar mengajak pada kebaikan.
Demikianlah tugas seorang muslim, tidak boleh diam atas kemungkaran apalagi melarang orang lain untuk menyuarakan penolakan atas kemungkaran. Pelarangan atas suara kritis kemungkaran sama halnya dengan membiarkan kemungkaran terus berlangsung dan ikut mengamini atas perilaku kemungkaran tersebut. Sekiranya seseorang tidak berani atas resiko yang akan diterima atas keberanian menyuarakan penolakan kemungkaran maka setidaknya tidak menggembosi atau melemahkan semangat dalam menyuarakan penolakan atas kemungkaran sehingga lebih baik cukup mengambil aksi diam dan mendoakan para pejuangnya agar diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menjalani aksi keberaniannya itu.
Bahkan akan menjadi sebuah kemungkaran pula manakala seseorang mendiamkan adanya kemungkaran, semisal penyelewengan atas komitmen hidup bersama sebagai sebuah bangsa yang terdokumentasikan dalam dasar negara ataupun UUD 1945 yang murni. Dapatlah dianggap sebagai sebuah kemungkaran manakala membiarkan berbagai tindak kejahatan terus mewarnai praktek hidup berbangsa seperti membiarkan adanya tindak korupsi dan peluang kemungkinan leluasanya para pelaku korupsi untuk leluasa menggerogoti kekayaan negara yang menjalankan amanah ummat, atau membiarkan para broker bangsa yang rela menggadaikan dan menjual bangsa ini kepada bangsa lain dengan mengorbankan kepentingan bangsanya, atau pula mendiamkan diri dengan seakan berpura-pura tidak mau tahu dan peduli atas ancaman yang menghadang bangsa ini yang dilakukan oleh bangsa lainnya melalui agen proxy nya yang bercokol di negeri ini.
Segala upaya kekritisan yang dibangun melalui berbagai tindakan penolakan akan bermakna kebaikan manakala diniatkan untuk kebaikan pula ataupun menegakkan nilai-nilai kebenaran yang dikonstruksi oleh islam melalui syariat dan aturannya. Sehingga kita bisa melihat dalam sejarah tentang para pejuang islam di negeri ini banyak lahir dari kalangan pesantren yaitu kyainya, ulama sentralnya hingga para santri yang keluar dari pesantrennya dan kemudian mengumandangkan jihad melawan penjajahan. Lihatlah sederetan nama yang menggambarkan bagaimana jiwa patriotik dan nasionalismenya para ulama pejuang islam di negeri ini dalam melawan kemungkaran, kedhaliman pada masa itu sekalipun akhirnya mereka terpaksa harus mati di medan perang ataupun diasingkan dan dibuang jauh dari tanah kelahirannya. Tercatatlah nama Tuanku Imam Bonjol, Raden Mas Antawirya atau yang lebih dikenal dengan nama pangeran diponegoro, Kyai Mojo, cut nyak dien, Tengku Umar, hingga KH. Hasyim asy’ary yang merekomendasikan jihad berperang melalui resolusi jihadnya melawan kehadiran kembali para penjajah belanda hingga di suarakan penolakan penjajahan oleh Bung Tomo, KH. Ahmad dahlan dan lain sebagainya. Semua tokoh ulama pejuang itu tidak rela dan tinggal tinggal diam atas kemungkaran yang ada di hadapannya.
Untuk itulah, janganlah diam atas kemungkaran yang ada, teruslah bersuaralah dan lakukan penolakan tegas atas kemungkaran atau jika tidak berani melakukannya maka cukuplah diam dan doakan setidaknya tidak ikut melemahkan semangat perjuangan. Jaga dan pertahankanlah negeri amanah para wali ini dari rongrongan berbagai bentuk kemungkaran. Karena membiarkan adanya kemungkaran berarti rela menerima kehancuran atas bangsa ini.
Semoga Allah swt terus menjaga negeri ini dan dijauhkan dari kehancuran. Semoga Allah swt menyelamatkan ummat islam dari keterpecahan , disintegrasi bangsa. Semoga Allah swt selalu membimbing diri kita menuju ridhoNya. Aamiiinn…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar