Kanal24, Malang – Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil alih kendali fiskal nasional, satu pertanyaan besar mengemuka: mampukah Indonesia benar-benar lepas dari ketergantungan utang luar negeri? Dalam hitungan bulan, arah kebijakan fiskal di bawah kepemimpinannya mulai terasa—lebih tegas, lebih berani, dan berupaya membangun kemandirian ekonomi melalui efisiensi anggaran dan penguatan pembiayaan domestik.
Langkah strategis Purbaya tampak dari upayanya memperkuat sinergi antara APBN, Danantara, dan BP BUMN—tiga poros baru yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan nasional. Melalui skema ini, pemerintah mencoba menggeser sumber pembiayaan dari pinjaman luar negeri menuju pemanfaatan aset negara dan dividen BUMN.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Setyo Tri Wahyudi, arah baru ini bisa menjadi tonggak penting bagi kemandirian fiskal Indonesia. “Danantara menjadi ujung tombak transformasi fiskal. Tapi lembaga ini harus memastikan dana yang dikelola benar-benar berputar di sektor riil, bukan sekadar parkir di instrumen aman seperti SBN,” ujarnya.

Sinergi APBN, Danantara, dan BP BUMN
Sejak resmi beroperasi, Danantara mendapat mandat besar: mengelola sekitar Rp80 triliun dividen BUMN yang sebelumnya masuk dalam PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dampaknya cukup signifikan, karena pos PNBP dalam APBN menurun. Namun, di sisi lain, aliran pembiayaan proyek strategis nasional menjadi lebih fleksibel karena dikelola secara langsung di bawah pengawasan BP BUMN dan Kementerian Keuangan.
Keputusan Purbaya memperkuat posisi Danantara, sekaligus menegaskan fungsi pengawasan BP BUMN, menjadi sinyal keseriusan dalam menghindari praktik fiskal yang tidak produktif. “Kalau Danantara hanya membeli surat berharga negara, sama saja uang negara berputar di tempat. Pemerintah harus memastikan lembaga ini berinvestasi di sektor strategis yang menciptakan nilai tambah ekonomi,” tegas Prof. Setyo.
Kebijakan ini juga diuji dalam kasus Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC). Proyek yang masih menyisakan kewajiban pembayaran tersebut diharapkan menjadi tanggung jawab Danantara, bukan lagi membebani APBN. Purbaya menegaskan bahwa APBN tidak boleh menanggung beban utang BUMN karena struktur dividen kini sudah dialihkan ke Danantara.
“Kalau Danantara dibentuk untuk mengelola dividen BUMN, maka risikonya juga harus ditanggung sendiri. Jangan sampai jadi beban fiskal baru,” tutur Prof. Setyo.
Sinergi Gas dan Rem Fiskal
Langkah Purbaya berikutnya adalah menata ulang subsidi dan kebijakan pajak sebagai instrumen keberlanjutan fiskal. Dalam berbagai forum, ia menekankan bahwa subsidi bukanlah beban, melainkan tanggung jawab negara untuk melindungi daya beli masyarakat. Di sisi lain, perluasan basis pajak dilakukan untuk memperkuat kemandirian fiskal tanpa mengandalkan utang luar negeri.
Sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter juga menjadi perhatian utama. Saat pemerintah memperkuat belanja produktif melalui stimulus dan penyaluran dana ke sektor riil, Bank Indonesia menjaga stabilitas suku bunga acuan di bawah lima persen, memberi ruang bagi dunia usaha untuk tumbuh. “Keseimbangan antara gas fiskal dan rem moneter harus dijaga. Tanpa koordinasi itu, APBN akan kehilangan arah,” ujar Prof. Setyo.
Purbaya kini menempatkan keberlanjutan fiskal di jantung kebijakan ekonomi nasional. Melalui integrasi antara APBN, Danantara, dan BP BUMN, ia berupaya memastikan bahwa setiap rupiah uang negara memberikan dampak ekonomi nyata.
“Selama lembaga-lembaga pengelola fiskal seperti Danantara dan BP BUMN bekerja efektif dan akuntabel,” tutup Prof. Setyo, “Indonesia punya peluang besar untuk keluar dari jebakan utang luar negeri dan benar-benar berdiri di atas kaki sendiri.”(Nid/Din)










