KANAL24, Malang – Ekonomi pangan berbasis masyarakat bisa menjadi pilihan strategi dalam mengarungi pandemi Covid-19. Disampaikan oleh Prof.Dr.Ir. Nuhfil Hanani AR, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Brawijaya (UB) saat menjadi narasumber pada Diskusi Kelompok Terfokus “Antisipasi Krisis Pangan” yang dilakukan secara virtual melalui aplikasi Zoom meeting, rabu (6/5/2020).
Ciri-ciri petani pangan Indonesia adalah luas lahan yang dimiliki tergolong sempit yaitu kurang lebih atau sama dengan 0.5 Ha. Selain lahan yang dimiliki sempit, modalnya pun terbatas, tingkat pendidikan yang ditempuh rendah. Sebagian besar hasil panen dijual langsung, hanya sedikit yang dikonsumsi atau disimpan. Petani pangan Indonesia hanya melakukan sedikit penanganan pasca panen, pendapatan keluarganya berasal dari hasil pertanian dan non pertanian. Keputusan dalam manajemen usaha tani dipengaruhi oleh keputusan non pertanian (konsumsi).
Sedangkan, ciri-ciri konsumen pangan Indonesia adalah umumnya pengeluaran pangan sekitar 50 persen dari total pengeluarannya. Konsumsi terbesar ini didominasi oleh beras yang merata hampir di seluruh provinsi. Respon konsumsi terhadap perubahan harga, rendah (in-elastis) untuk pangan karbohidrat, tetapi elastis untuk pangan protein, lemak dan vitamin / mineral. Masyarakat Indonesia sangat sulit untuk beralih dari konsumsi karbohidrat beras ke non beras. Produsen beras (petani) juga menjadi konsumen beras. Konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi yakni sebesar 97,1 kg per kapita per tahun.
“Adanya pandemi Covid-19 akan mempengaruhi ketersediaan pangan antar waktu jika manajemen stok pangan kurang baik. Peranan Bulog dalam manajemen cadangan (stok) dan distribusi pangan sangat menentukan keberhasilan distribusi daerah dan antar waktu. Subsidi transportasi dari daerah surplus ke daerah defisit pangan sangat diperlukan untuk mengurangi dampak Covid-19 pada ketahanan pangan,” terang Rektor UB tersebut.
Lanjutnya, pandemi ini juga akan mempengaruhi permintaan pangan. Permintaan pangan akan turun karena restoran, umkm pangan, industri makanan dan minuman, hotel serta pedagang / eksportir banyak yang tutup sehingga menyebabkan harga bahan pangan jatuh.
Adapun strategi peningkatan ketersediaan pangan yang dapat dilakukan, yakni meningkatkan produktivitas dan perluasan areal pertanian dengan melakukan peningkatan akses petani terhadap teknologi, kredit, dan sarana produk padi. Diversifikasi usaha tani berupa jaminan harga dan ketersediaan pasar, memperlancar jaringan distribusi, pembangunan infrastruktur pertanian seperti irigasi, pasar, dan jalan desa serta pemanfaatan pekarangan. Kegiatan tersebut dapat meningkatkan produksi pangan yang selain dapat menambah ketersediaan pangan, juga dapat menambah cadangan pangan.
“Pengamanan ketersediaan pangan pada daerah yang bukan sentra pangan harus dijamin pasokan pangannya melalui pasokan pangan dari daerah surplus. Jaringan distribusi harus dipastikan terjamin. Cadangan dan pasokan pangan harus dipastikan cukup untuk menjamin ketersediaan pangan antar daerah dan antar waktu. Kalau produksi domestik kurang mencukupi, bisa melakukan impor,” jelasnya.
Masyarakat yang menjadi miskin dan/ pengangguran akibat dampak Covid-19 sehingga akses pangannya rendah, diperlukan bantuan pangan dan non pangan disertasi subsidi untuk pengeluaran non pangan (listrik, kesehatan dll). Disamping itu, perlu diciptakan lapangan kerja baru melalui program padat karya.
Pada daerah sentra produksi pangan di pedesaan, perlu dibentuk tim pangan desa dengan melibatkan kelompok tani, gabungan kelompok tani, PKK dan RW untuk penanganan ketahanan pangan desa. Sedangkan pada daerah perkotaan dapat menggunakan RW, PKK, Karang Taruna, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat dan Tokoh Agama.(meg)