KANAL24, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku telah menutup operasional perusahaan financial technology (fintech) sekitar 1.300 fintech. Penutupan operasional ini berkaitan dengan persoalan izin yang tidak didapatkan dari OJK hingga proses bisnis dan SOP penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan regulasi.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan, perkembangan industri digital memang sangat cepat dan membawa perubahan yang signifikan, termasuk dalam hal simpan pinjam uang di masyarakat. Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan fintech, tak sedikit orang yang tergiur untuk melakukan transaksi tanpa diawali dengan cek dan ricek status hukum dan risiko dari meminjam duit secara online.
“Memang kenyataanya tidak semulus yang dibayangkan. Banyak sekali pinjaman yang unsecure , tidak ada jaminan. Itu namanya rentenir, tidak minta jaminan, tidak ada catatan izin, dan pembukuan. Di bank atau lembaga keuangan formal, pasti ditanya. Tapi ini tidak, jadi mudah dan gampang,” kata Wimboh usai menghadiri Indonesia Fintech Summit & Expo ( IFSE ) 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (23/9/2019).
Wimboh mengakui bahwa saat ini OJK banyak menerima aduan terkait penyelenggara fintech yang melakukan berbagai cara untuk menagih cicilan nasabahnya. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan ancaman hingga modus menjual data-data nasabahnya.
Oleh sebab itu OJK menegaskan akan selalu aktif melakukan berbagai upaya untuk menutup operasional dari perusahaan fintech nakal dengan melibatkan lintas Kementerian/Lembaga pemerintah.
“Banyak proses pengaduan, tapi ini selalu kita follow up dengan mediasi, karena ini jumlahnya banyak. Kita mediasi dengan asoasi dan dengan yang bersangkutan, mudah-mudahan jumlahnya makin lama makin kecil (jumlah korban fintech nakal),” ujar Wimboh.
Oleh karena itu, Wimboh menyarankan agar masyarakat yang akan memanfaatkan jasa fintech – terutama dalam mencari pinjaman – harus diawali dengan mencari profil fintech tersebut apakah sudah resmi tercatat di OJK atau belum. Kemudian masyarakat juga harus teliti memahami risiko dan aturan yang ditetapkan oleh fintech.
Kemudian, nasabah juga harus menghitung dengan teliti jumlah pinjaman plus suku bunganya untuk disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Pastikan bahwa track record fintech tersebut mematuhi kode etik yang telah disusun oleh asosiasi dan OJK.
Nasabah juga harus berkomitmen melaksanakan kewajibannya apabila sudah menandatangani surat perjanjian pinjaman dengan fintech. Jika ada fintech-fintech yang “nakal”, Wimboh meminta masyarakat aktif melaporkannya ke OJK.
“Jadi masyarakat yang harus hati-hati dan betul-betul teliti pada saat menandatangi perjanjian. Cek betul jangan sampai ada form yang berketerangan merugikan nasabah seperti share data pribadi ke orang atau pihak lain,” pungkasnya. (sdk)