KANAL24, Malang – Regulasi dan pelayanan menjadi tantangan pemerintah menghadapi revolusi 4.0. Pernyataan ini disampaikan Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, Ph.D kepada awak media secara daring pada expose hasil penelitiannya yang membahas tentang revolusi 4.0 dan kearifan pemerintah daerah di Malang Raya, jumat (18/12/2020).
Selain Wawan, ada 2 peneliti lain yakni Ibnu Asqori Pohan, MA (dosen kewirausahaan politik dan kebijakan publik pada program studi ilmu politik FISIP UB) dan Nurizal Dwi Priandani, M.Kom (dosen Fakultas Ilmu Komputer UB).
Pada penyampaian hasil penelitian ini, Tim peneliti UB tersebut berangkat dari beberapa problem statement yaitu tingkat kesiapan dan kemungkinan argumen di balik tahapan kesiapan yang dicapai pemda dalam menghadapi tantangan revolusi 4.0 dan faktor yang berkontribusi terhadap kesiapan maupun ketidakpastian pemda dalam menghadapi revolusi 4.0. Lalu, mengeksplorasi kearifan pemerintah daerah yang mempertemukan antara tuntutan revolusi 4.0 dan konteks lokal dan kebutuhan masyarakat dan upaya-upaya pemda dalam menghadapi tantangan revolusi 4.0 yang disesuaikan dengan konteks lokal dan kebutuhan masyarakat saat ini dan masa depan. Mengeksplorasi potensi jejaring komunitas digital di daerah dalam menghadapi tantangan revolusi 4.0. asumsinya, pemda tidak bisa bergerak sendiri dalam menghadapi tantangan revolusi 4.0.
“Hasil penelitian e-service pemda di Malang Raya menunjukkan e-service di Kota Malang lebih menonjol dibandingkan Kabupaten Malang dan Kota Batu. Implementasi e-service oleh tiga pemda menunjukkan inisiatif pelayanan berbasis aplikasi (android dan internet) ini merupakan bentuk respon dan kesiapan menghadapi tantangan revolusi 4.0 dalam pelayanan. Pada tahap inisiasi e-service, ketiga pemda sudah memiliki kesadaran pentingnya penggunaan e-service sebagai bagian penting pelayanan,” papar Nurizal.
Selanjutnya, pada tahap pengembangan e-service mulai muncul tantangan-tantangan dalam implementasi e-service. Pertama, kesiapan sumber daya manusia (ASN) pengelola. Kedua, kesiapan pengguna, atau literasi pengguna terhadap e-service masih belum merata. Ketiga, fleksibilitas e-service, yaitu kemampuan melakukan kompromi atau kombinasi antara pelayanan manual dan e-service. Keempat, integrasi antar aplikasi e-service sejenis belum dilakukan. Sosialisasi e-service kepada masyarakat masih minim. Penyediaan infrastruktur implementasi e-service.
Sementara itu, menurut Wawan dilihat dari kesenjangan antara tujuan digitalisasi, automasi, dan efisiensi dan realitas pemerintah daerah sebagai penyedia dan masyarakat sebagai pengguna. Pertama, masih ada ketidaksiapan pemda terutama dalam menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat berbasis digital karena sejumlah kendala internal. Kedua, ketidaksiapan masyarakat memanfaatkan fasilitas digital berbasis aplikasi. Ketiga, masih terdapat persoalan ketersediaan infrastruktur internet. Keempat, masih kurangnya sosialisasi atau marketing, utamanya upaya digitalisasi, automasi, dan efisiensi pelayanan daerah kepada pengguna. Komitmen (kepala daerah dan/atau kepala OPD) belum sepenuhnya mendukung upaya digitalisasi, automasi, dan efisiensi melalui pengembangan aplikasi dalam pelayanan dan penanganan pengaduan.
“Kearifan pemda dalam menghadapi tantangan revolusi 4.0 alangkah lebih baik jika melakukan upaya-upaya digitalisasi, automasi, dan efisiensi pelayanan daerah khususnya dan/atau penyelenggaraan pemerintahan umumnya sebaiknya empati terhadap keragaman pengguna dalam mengakses pelayanan.
Ketiga, pada tahap awal, Pemda Malang Raya tetap menempuh langkah-langkah kompromi pelayanan. Keempat, kesenjangan antara upaya-upaya digitalisasi, automasi, dan efisiensi melalui penggunaan teknologi informasi dan realitas dan situasi masyarakat, menuntut kreativitas pemda di malang raya untuk mengatasinya. Guna menyikapi berbagai kesenjangan dan keragaman kebutuhan dan permintaan masyarakat atas upaya-upaya pemda di malang raya menghadapi revolusi 4.0 perlu disikapi dengan kerendahan hati,” jelas pakar politik UB itu.
Kemudian, Ibnu Pohan menjelaskan bahwa tidak ada regulasi dan pelayanan khusus dari pemda di Malang Raya untuk merawat komunitas digital dalam rangka menyiapkan diri menghadapi tantangan revolusi 4.0. Penelusuran substansi RPJMD dan Renstra RKPD Pemerintah Malang Raya tidak ditemukan komitmen khusus dari masing-masing kepala daerah terhadap pengembangan komunitas digital. Padahal, tantangan terbesar dalam menghadapi revolusi industri 4.0 ada pada masyarakat, bukan pemerintah.
Di akhir sesi pemaparannya, tim peneliti UB ini memberikan gagasan digital value agar revolusi 4.0 memberi manfaat. Ada beberapa gagasan yang telah kanal24.co.id rangkum seperti perlu adanya transformasi kepemimpinan politik (daerah), kebutuhan digitalisasi yakni Pemda perlu mengerti kebutuhan publik yang tak hanya semakin kompleks. Secara bersamaan, kebutuhan warga dipengaruhi oleh sistem digital. Kehidupan yang makin serba digital menuntut redefinisi kebutuhan publik dan kecepatan perubahan kebutuhan tersebut. Misalnya, kebutuhan pendidikan berorientasi digital, pelayanan kesehatan berbasis digital, dan ekonomi digital. Lalu, diperlukan penyelesaian segera yang mana pengambilan keputusan bukan saja sebagai upaya akhir menyelesaikan masalah, melainkan proses mengadaptasi perubahan secara cerdas dan cermat. Terakhir, perubahan relasi atau perubahan jejaring tata kelola pemerintahan, kearifan digital, dan keterhubungan antar daerah. (Meg)