KANAL24, Jakarta – Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) mendesak pemerintah untuk segera membenahi tata kelola industri baja nasional melalui penataan kembali regulasi dan peningkatan dukungan, guna meningkatkan daya saing industri baja dalam negeri.
“Kalau kita lihat China, India yang saat ini sedang gencar melakukan pembangunan ekonomi, kita melihat mereka concern dengan industri baja karena ini menyangkut daya saing nasional atau daya saing industrinya,” kata Ketua Umum IISIA, Silmy Karim saat dihubungi, Senin (22/7/2019).
Silmy yang juga direktur utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) mengatakan, pemerintah sesegera mungkin harus merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 22 tahun 2018. Aturan inilah yang menurutnya menjadi batu sandungan bagi industri baja nasional.
Menurutnya, aturan ini seharusnya untuk menurunkan dwelling time saja, namun justru dimanfaatkan oleh eksportir baja luar negeri untuk pengalihan harmonized system (HS). Ia menegaskan bahwa eksportir baja luar negeri melakukan kecurangan dengan mengganti nomor harmonized system (HS number) dari baja jenis carbon steel menjadi jenis alloy steel.
Penggantian HS number tersebut dilakukan dengan cara mencampur carbon steel dengan unsur kimia boron kurang dari 1 persen. Akibat penerapan praktik ini negara dirugikan sebesar hingga USD 1,5 miliar atau Rp 222,6 triliun (kurs Rp 14.000/USD).
“Hal ini membuat kerugian buat industri baja, nah ini yang tidak pernah diukur, karena industri itu akan sangat kurang baik buat Indonesia. Saya berharap Permendag 22 akan direvisi karena itu sangat merugikan industri baja nasional,” jelasnya.
Silmy mengklaim saat ini kebutuhan baja dalam negeri mencapai 18 juta ton. Sebanyak 50 persen di antaranya di pasok oleh Krakatau Steel dan sisanya pelaku industri lain. Ia menjamin, kualitas baja yang dihasilkan di dalam negeri juga tidak kalah bersaing dengan baja dari Tiongkok atau negara lainnya.
“Cuma problemnya adalah Tiongkok itu punya yang namanya tax rebate (pengembalian pajak) ketika dia melakukan penjualan alloy steel. Lainnya, persaingan yang tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku pelaku yang tidak secara fair memanfaatkan lubang aturan main,” ungkapnya.
Ia pun meminta pemerintah melakukan empat langkah. Pertama, mengurangi ijin impor. Pemerintah bisa memberikan ijin hanya pada produk baja yang tidak bisa diproduksi di Indonesia. Kedua, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Ketiga, pengawasan terhadap penerapan SNI.
“Apabila ada produk baja yang tidak sesuai ditindak sesuai aturan yang berlaku,” tuturnya.
Kemudian yang keempat adalah mewajibkan penggunaan produk baja dalam negeri pada proyek-proyek pembangunan pemerintah maupun BUMN /BUMD. “Kebijakan ini sangat baik untuk mendukung industri baja nasional,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, gencarnya pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla semula diharapkan menjadi berkah bagi industri baja dalam negeri. Kenyataannya, produksi baja nasional terdesak oleh gencarnya produk baja impor, terutama sekali dari Tiongkok.
Krakatau Steel sendiri sebagai industri baja nasional terbesar justru mengalami kerugian selama 7 tahun berturut-turut. Dalam Laporan Tahunan 2018, beban keuangan KRAS sepanjang 2018 mencapai USD112 juta atau setara dengan Rp1,57 triliun (kurs Rp14.038/USD). Beban tersebut membengkak lebih dari 2 kali lipat pada 2011 yang hanya USD41 juta.
Melonjaknya beban keuangan KRAS juga tidak terlepas dari jumlah utang perseroan. Hingga 2018, total utang perusahaan mencapai USD2,49 miliar yang terdiri dari utang jangka pendek USD1,60 miliar dan jangka panjang USD 899 juta. Berbagai upaya dilakukan mulai dari restrukturisasi bisnis, restrukturisasi organisasi hingga restrukturisasi utang. (sdk).