Oleh : Setyo widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB – [email protected]
Mary Jane Veloso, warga Filipina yang di vonis hukuman mati karena tertangkap membawa heroin 2,6 kg di bandara Adi Sucipto, Jogya, empat belas tahun yang lalu, telah dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia tgl 18 Desember 2024.
Pemulangan Mary Jane ini sedikit menimbulkan polemik, pro kontra diantara para pakar hukum dan aktivis HAM.
Disatu sisi Indonesia dianggap tidak konsisten menerapkan hukuman mati bagi terpidana narkoba, khususnya warga negara asing, sebab tahun 2015 yang lalu dua warga negara Australia, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran telah di eksekusi mati oleh Pemerintah Indonesia.
Disisi lain para aktivis HAM menyambut positif pemulangan ini dan imomen penting bagi penghapusan hukuman mati oleh Pemerintah Indonesia.
Pemulangan Mary Jane ini tentu akan menjadi preseden bagi pemulangan terpidana narkoba lain yang dijatuhi hukuman berat di Indonesia, misalnya terpidana narkoba yang dikenal dengan “Bali-Nine” Mary Jane Veloso, seorang warga Filipina, telah menjadi simbol perjuangan melawan hukuman mati di dunia internasional. Perjuangannya menghadapi hukuman mati di Indonesia bukan hanya kisah individu tentang keberanian dan ketahanan, tetapi juga menjadi pengingat akan isu global terkait perlakuan terhadap tenaga kerja migran, keadilan hukum, dan kebijakan hukuman mati. Dipulangkannya Mary Jane Veloso ke Filipina menjadi topik hangat yang memicu diskusi lebih luas mengenai penghapusan hukuman mati.
Selain soal penghapusan hukuman mati, yang menarik adalah tentang mekanisme pemulangan Mary Jane. Pemulangan ini disebut sebagai transfer of prisoner yang belum ada UU yang mengaturnya. Namun demikian Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa transfer of prisoner ini dapat dilakukan melui Mutual Legal Asisstantance In Criminal Matters dan melalui diplomasi. Bukan melalui Ekstradisi.
Mekanisme diplomasi mendapatkan kritik, karena mengabaikan aspek hukum. Harian Kompas mengupas persoalan ini dalam pemberitaannya.
Berikut ini saya tuliskan kronologi kasus Mary Jane ini serta pentingnya penghapusan hukuman mati.
Mary Jane Veloso adalah seorang tenaga kerja migran asal Filipina yang pada tahun 2010 ditangkap di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, karena membawa 2,6 kilogram heroin di dalam kopernya. Mary Jane mengaku tidak mengetahui adanya narkoba tersebut dan menyatakan dirinya menjadi korban penipuan oleh sindikat perdagangan manusia. Ia direkrut untuk bekerja di Malaysia, tetapi kemudian dipaksa membawa koper ke Indonesia yang ternyata berisi narkotika.
Pada tahun 2015, Mary Jane dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia. Ia termasuk dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahun itu. Namun, beberapa jam sebelum eksekusi, Presiden Joko Widodo menunda hukuman mati Mary Jane karena adanya permintaan dari pemerintah Filipina untuk memberikan kesaksian dalam kasus perdagangan manusia yang melibatkan perekrutnya. Penundaan ini memberikan harapan bagi Mary Jane, keluarganya, dan para pendukungnya yang percaya bahwa ia adalah korban yang tidak bersalah.
Sejak saat itu, pemerintah Filipina, di bawah pemerintahan beberapa presiden, terus berupaya untuk membebaskan Mary Jane dari hukuman mati. Kasusnya telah menjadi sorotan global, menarik perhatian organisasi hak asasi manusia, aktivis anti-hukuman mati, dan berbagai kelompok advokasi tenaga kerja migran. Pada tahun 2024, muncul kabar bahwa Indonesia mungkin mempertimbangkan untuk memulangkan Mary Jane ke Filipina, meskipun status hukuman matinya belum secara resmi diubah.
Pemulangan ini dianggap sebagai langkah besar dalam memberikan keadilan bagi Mary Jane. Selain itu, hal ini juga dianggap sebagai pengakuan bahwa hukuman mati mungkin bukan solusi yang tepat, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan korban perdagangan manusia. Banyak pihak berharap pemulangan Mary Jane dapat menjadi preseden bagi kasus serupa di masa depan.
Kasus Mary Jane Veloso kembali memunculkan perdebatan tentang hukuman mati di Indonesia dan negara lain. Indonesia adalah salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati, terutama untuk kasus-kasus berat seperti narkotika, pembunuhan, dan terorisme. Pemerintah Indonesia sering kali berargumen bahwa hukuman mati diperlukan sebagai efek jera bagi pelaku kejahatan berat dan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya.
Namun, banyak kritik yang muncul terhadap hukuman mati, baik di Indonesia maupun secara global. Beberapa alasan utama yang digunakan oleh kelompok anti-hukuman mati meliputi:
Kesalahan Hukum: Tidak jarang hukuman mati dijatuhkan pada individu yang kemudian terbukti tidak bersalah. Mary Jane Veloso adalah contoh di mana faktor perdagangan manusia dan eksploitasi memengaruhi kasusnya.
Tidak Efektif Sebagai Pencegahan: Studi menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara signifikan menurunkan angka kejahatan. Sebagai contoh, negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati sering kali memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah dibandingkan negara-negara yang masih memberlakukannya.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Hukuman mati dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup. PBB telah lama mendorong negara-negara anggotanya untuk menghapus hukuman mati dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup atau rehabilitasi.
Faktor Sosial dan Ekonomi: Dalam banyak kasus, terpidana mati berasal dari kelompok masyarakat miskin yang tidak mampu membayar pengacara yang kompeten atau memahami proses hukum yang rumit.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa hukuman mati diperlukan untuk memberikan keadilan bagi korban kejahatan berat. Namun, kasus Mary Jane Veloso menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati sering kali tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang lebih kompleks, seperti perdagangan manusia dan eksploitasi.
Mary Jane Veloso telah menjadi simbol perjuangan bagi banyak pihak yang menentang hukuman mati dan memperjuangkan keadilan bagi korban perdagangan manusia. Kisahnya menunjukkan bagaimana sistem hukum dapat gagal melindungi individu yang menjadi korban eksploitasi. Selain itu, kasusnya juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh tenaga kerja migran, terutama perempuan, yang sering kali menjadi korban penipuan, eksploitasi, dan perdagangan manusia.
Dipulangkannya Mary Jane, menjadi kemenangan besar bagi para aktivis dan organisasi yang selama ini mendukungnya. Namun, hal ini juga menjadi pengingat bahwa masih banyak individu lain yang menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai negara.
Kabar tentang pemulangan Mary Jane Veloso juga membawa harapan bahwa Indonesia dan negara-negara lain mungkin mempertimbangkan kembali kebijakan hukuman mati. Penghapusan hukuman mati tidak hanya menjadi langkah maju dalam melindungi hak asasi manusia, tetapi juga membuka jalan bagi sistem peradilan yang lebih adil dan manusiawi.
Mary Jane Veloso, meskipun tidak bersalah, telah menghadapi kengerian hukuman mati selama lebih dari satu dekade.
Dipulangkannya Mary Jane ke Filipina akan menjadi bukti bahwa keadilan dapat dicapai melalui kerja sama antarnegara dan dukungan dari komunitas global. Semoga kisah Mary Jane menjadi titik awal perubahan yang lebih besar menuju dunia tanpa hukuman mati.(*)