oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Al ulamaa’ waratsatul anbiyaa’, ulama adalah pewaris nabi. Ulama adalah seorang berilmu (al aalim) yang memiliki sifat kebijaksanaan yang bersumber dari nilai-nilai ketuhanan. Seorang ulama menjalankan tugas sebagai penyambung lisan kenabian yang bertugas menyampaikan berbagai kebaikan dan kebenaran serta mencegah manusia dari jalan kemungkaran dan kehancuran, amar makruf nahi mungkar. Jika ulama adalah seorang yang memahami dan menguasai pesan-pesan ketuhanan dan kenabian maka intelektual (al aalim) adalah seseorang yang telah dibukakan oleh Allah pinta pemahaman dan pengertian tentang sebagian ilmu Allah swt. Keduanya adalah seseorang yang dianugerahi keilmuan oleh Allah swt untuk kemudian menjadi pengingat manusia ke jalan kebenaran dan kebaikan. Dengan ilmu Allah itu maka manusia akan lebih mengetahui tentang kebaikan dan kebenaran. Sebab ilmu itu adalah cahaya (al ilmu nuurun) yaitu mampu memberikan petunjuk pada manusia ke jalan kebaikan yang terang benderang serta mengeluarkannya dari jalan kegelapan.
Ulama dan kalangan cendekiawan adalah penjaga moral masyarakat. Mereka menjadi jalan pengingat bagi umat manusia kepada jalan kebaikan agar tidak tergelincir dari jalan kebenaran serta menjaga manusia dari jalan kesesatan dan kemungkaran. Ulama dan cendekiawan haruslah menjadi orang yang pertama kali berteriak dengan lantang manakala ada realitas dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai kebaikan dan keluar dari aturan ilahi. Seorang ulama atau intelektual tidak boleh diam atas kemungkaran yang ada di tengah masyarakat. Sebab diamnya ulama dan cendekiawan adalah merupakan awal dari sebuah kehancuran. Kemungkaran yang merajalela dalam masyarakat bukanlah disebabkan karena tidak adanya kebaikan melainkan hal ini disebabkan oleh diamnya para ulama dan kalangan cerdik pandainya.
Kehancuran masyarakat akan semakin merajalela manakala ulama dan cendekiawan ikut mengamini dan mendukung bahkan menjadi pengajak atas perilaku menyimpang dan kemungkaran yang ada. Semisal menjadi penyeru kebencian (hate speech), penyebar berita kebohongan (hoax), fitnah dan sebagainya. Hal demikian telah diingatkan oleh Allah dalam FirmanNya:
لَوۡلَا يَنۡهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ عَن قَوۡلِهِمُ ٱلۡإِثۡمَ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحۡتَۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَصۡنَعُونَ
Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. (QS. Al-Ma’idah, Ayat 63)
Dijelaskan dalam tafsir At Thabari bahwa menjadi tugas dari para ulama dan kalangan cendekiawan untuk memperingatkan ummat agar tidak melakukan kebohongan, perkataan dusta serta menjauhkan diri dari perilaku menyimpang seperti budaya korupsi (suap menyuap) dalam menetapkan suatu keputusan (hukum). Hal ini memberikan suatu pengertian bahwa asal muasal sumber perilaku korupsi adalah bermula dari tindakan dusta dan kebohongan. Serta mula dari suatu kehancuran suatu masyarakat dan bangsa adalah manakala telah merebak padanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukumnya. Sehingga untuk menjaga dan mencegah dari kehancuran itu maka tugas para ulama dan kalangan cendekiawan untuk memberikan peringatan pada ummat.
Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa tugas para ulama adalah menjadi penjaga moral ummat agar tidak terjebak pada perilaku buruk dan nista berupa kebohongan dan permisifitas atas kemungkaran berupa rendahkan kepedulian sehingga terjebak pada hal yang diharamkan dalam memperoleh harta kekayaan yang kemudian dijadikan nafkah yang dikonsumsi oleh keluarganya. Dengan kata lain, bahwa pencegahan korupsi adalah menjadi tugas dari para ulama dan kalangan cendekiawan.
Untuk itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga moral publik serta pencegahan tindakan korupsi maka para ulama dan kalangan cendekiawan haruslah menjaga jarak dengan kekuasaan dan politik praktis agar dapat menjalankan peran amar makruf nahi mungkar dengan tegas, terbuka dan tanpa beban, tanpa ada perasaan risih dan berhutang budi manakala mereka harus memberikan peringatan atas perilaku menyimpang kekuasaan. Sebagaimana dikatakan dalam sabda Nabi :
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
“Jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran yang disampaikan di sisi penguasa yang zalim” (HR Abu Dawud)
Hal ini menandakan bahwa ulama dan cendekiawan harus menjaga jarak dengan kekuasaan dan penguasa agar mereka dapat menjalankan perannya dalam memberikan peringatan dan teguran kepada para penguasa manakala mereka berbuat dhalim dan mungkar. Karena memang demikianlah manakala kekuasaan tidak dikontrol, ia akan cenderung korup, yaitu mengkorupsi nilai-nilai kebenaran disebabkan dorongan hawa nafsu dan kecintaan atas kekuasaan (hubbul jah).
Ulama dan intelektual harus menjadi penyeimbang dan kelompok yang mampu mengontrol perilaku publik termasuk penguasa sehingga tidak boleh melacurkan dirinya dengan terlibat dalam berbagai kepentingan politik praktis yang sarat dengan berbagai intrik yang jauh dari nilai idealisme intelektual. Kalangan intelektual harus berani menyampaikan pendapatnya secara terbuka tanpa perlu menghadirkan rasa ketakutan karena ia tengah membawa suara kebenaran. Dengan suatu keyakinan bahwa kebenaran harus diutamakan dan diperjuangkan sekalipun hanya disuarakan oleh seorang saja. Seorang ulama atau intelektual, ilmuan tidak boleh menyembunyikan kebenaran dengan alasan subjektif.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS. Al-Baqarah: 159)
Termasuk dalam menyembunyikan kebenaran adalah berdiam diri, tidak memberikan respon dan tidak bersuara tegas disaat telah nyata tampak kemungkaran dihadapan mata, berbagai penyelewengan dan penyimpangan perilaku masyarakat serta penguasa. Bahkan merupakan tindakan kedhaliman yang besar manakala ulama dan cendekiawan berdiri dibalik penguasa, mendukungnya dan membelanya bahkan rela menjadi corong penguasa yang dhalim. Manakala hal ini terjadi, maka inilah awal dari kehancuran suatu bangsa, karena tidak ada lagi kelompok yang memberikan peringatan. Ibarat seseorang yang sedang berada dipinggir jurang, dan tidak ada lagi orang yang memberikan peringatan serta mencegahnya agar tidak terjatuh, maka kematian hanyalah masalah waktu saja.
Memang, komunikasi anti korupsi adalah tugas setiap orang untuk turut mengambil peran dalam mencegahnya, namun peran besar dan utama adalah terletak di pundak para ulama dan kalangan cerdik pandai untuk memberikan peringatan tegas, sebagai motor penggerak dalam menyuarakan penentangan atas tindakan korupsi. Karena itu, wahai para ulama dan cendekiawan, jagalah diri kalian untuk jangan terlalu dekat dengan para penguasa dan kekuasaan agar suara kalian dapat di dengar oleh mereka dan berwibawa dihadapan mereka. Jangan rendahkan harga diri kalian dihadapan kekuasaan dengan mengabdikan diri kalian dan menjadi pendukung kedhaliman mereka. Semoga Allah swt membimbing kalian dan menyelamatkan dari kehancuran.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB