Mitologi Sang Buddha sebagai “Pencerah’
Dalam bahasa Sanskreta dan Pali terdapat “budh’, yang bermakna: telah mengetahui. Sebutan ini diberikan kepada individu yang menyadari akan potensi penuh mereka untuk memajukan dirinya dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama, guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha dalam zaman ini”). Pada penggunaan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar. Kata lainnya dalam bahasa Sanskreta maupun Pali yang dekat dengannya adalah “bodhi’, yang bermakna: penerangan atau pencerahan. Ada pula yang memberi beberapa alternasi arti pada istilah ‘bodhi;, antara lain : (1) Pengetahuan yang dimiliki BUDDHA, (2) Pengetahuan tertinggi (3) Kebijaksanaan Sempurna, (4) Pencerahan (5) Mahatahu (6) Kebenaran (7) Keadaan seorang Buddha (8) Pengetahuan gaib dari seorang Arahat (9) Pohon kebijaksanaan.
Istilah ‘bodhi’ acap pula dipakai untuk menyebut pohon, yaitu pohon bodh (Ficus religiose) – terletak di kota Bodh Gaya, sekitar 100 km dari Kota Patna, pada negara bagian Bihar, India. Dalam mitologi Buddhis diksahkan bahwa di bawah pohon inilah Siddhartha Gautama, guru rohani yang kemudian dikenal sebagai “Gautama Buddha”, dikatakan bersemedi sampai mencapai pencerahan (enlightenment), atau ‘budh (bodhi)’.
Istilah ‘buddha’ berarti : dia yang mendapat pencerahan. Sang Buddha yang telah menerima pencerahan itu, selanjutnya menjadi pencerah bagi mausia lain melalui dharmma yang diajarkanNya. Secara teknis, Buddha adalah seseorang yang menemukan dharma (dhamma), yakni kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, jalan benar kepada kebebasan melalui kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalka dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pemikiran mengenai ‘bodhi’ merupakan pemikiran akan pencerahan sempurna, niat atau tekad untuk mencapai penerangan sempurna. Pencerahan yang sempurna merupakan tujuan tertinggi dalam praktik ajaran Buddha. Hanya ketika manusia dapat mencapai pencerahan yang sempurna, maka ia dapat terbebas dari segala bentuk penderitaan dan akan mampu memberikan manfaat yang tiada batasnya kepada seluruh mahluk.
Buddha juga dikenal dalam mitologi Hindu. Disebut dalam beberapa kitab Hindu, termasuk dalam hampir seluruh Purana. Kitab Purana menyatakan bahwa Buddha Gautama merupakan awatara (inkarnasi) ke-9 diantara sepuluh awatara (dasawatara) Dewa Wisnu. Adapun Bhagawatapurana menyatakanya sebagai awatara ke-24 diantara dua puluh lima awatara Wisnu. Susastra Purana mendeskripsikan dengan dua peran, yaitu : (a) menyebarkan ajaran palsu untuk menyesatkan kaum asura (makhluk sesat, penentang dewa) maupun manusia dari ajaran dharma Weda, (b) mengkritik pengorbanan binatang seperti yang sudah ditentukan dalam Weda. Buddha disebut juga sebagai seorang yogi (yogācārya) dan sebagai sanyasin (petapa). Purana mengkisahkan ‘pada Zaman Kali (kegelapan), Wisnu menjelma sebagai Gautama, yakni seorang Shakyamuni, serta mengajarkan dharma Buddha selama sepuluh tahun. Pada tahap pertama Zaman Kali, jalan Weda dihancurkan dan seluruh pria menjadi umat Buddha. Orang-orang yang mencari perlindungan kepada Wisnu telah menjadi sesat. Buddha sebagai awatara menganjurkan tindakan tanpa kekerasan (ahimsa). Sang Buddha yang berhati penuh kasih menentang penyembelihan hewan malang yang dilakukan menurut aturan Weda.
Urgensi Pecerahan bagi Kebaikan Hidup Lintas Masa
Pencerahan (budh) yang dimitologikan dalam Buddhisme maupun Zaman/Abad Pencerahan (Age of Enlightenment, Ranaisanse, Aufklarung) dijadikan istilah untuk menyebut salah satu periode dalam Sejarah Eropa pada sekitar abad ke-18 bukanlah sesuatu yang hanya penting (urgent) di masa lalu. Pada masa sekarang pun, pecerahan tetaplah penting. Akar kata Sanskreta ‘budh’ direlasikan dengan kata ‘buddhi’ dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti: kekuatan pembetuk da peumpa buah fikiran, kecerdasan, akal, budi, semangat, hati, ingatan, pendapat, fikiran, perasaan, faham, pengertian, cita-cita, angan-angan, watak, tabiat, pembawaan, kehendak, maksud (Zoetmulder, 1995:138). Istilah ini diserap ke dalam bahasa Indoesia menjadi ‘budi’ yang berarti: alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; tabiat; akhlak; watak; perbuatan baik; kebaikan; daya upaya, ikhtiar; akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya) (KBBI, 2002: 170). Buddhi atau budi adalah sumber bagi terciptanya pencerahan. Sepanjang waktu ada buddhi/ budi, sepajang waktu itu pulalah pencerahan memungkinkan terjadi.
Istilah ‘budaya’ atau ‘kebudayaan’ dalam bahasa Indonesia pun adalah istilah serapan dari bahasa Sanskreta “Buddhayah’, yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘buddhi (budi atau akal)’ dan diartikan sebagai: hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal manusia. Dengan perkataan lain, istilah “budaya“ adalah bentuk jamak dari kata “budi-daya“, yaitu daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Pada arti etimologis ini, tergambar bahwa kebudayaan tercipta manakala terdapat budi, yang adalah sesuatu yang dimiliki oleh makhluk berakal, yakni manusia. Oleh karena pangkal dari budaya itu adalah budi, dan pada sisi lain budi adalah prasyarat bagi terjadinya pencerahan, maka bisa dikatakan bahwa kebudayaan merupakan wahana bagi pecerahan, Sepajang waktu adanya kebudayaan, maka sepanjang waktu itu pula terbuka kemungkinan bagi berlangsungnya pecerahan untuk kebaikkan hidup. Lantaran pecerahan itu, jalan kehidupan menjadi lebih baik. Demikianlah, tidak berlebihan untuk menyatakan ‘pencerahan adalah hal penting bagi kebaikan hidup lintas masa’.
Semoga tulisan besahaja ini, yang sengaja ditulis bertepatan dengan “Hari Raya Waisak’, tepatnya Kamis 29 Mei 2018 pukul 21.19, memberi kefaedahan. Bukan saja bagi para pemeluk agama Buddha, namun diharap menfaedahi pula bagi siapapun yang membacanya. Semoga. Salam.”Harmoni dalam Kehidupan”, dan senantiasalah “berbagi kamu walau punya sedikit”. Nuwun.
M.Dwi Cahyono, Dosen UM Malang dan Budayawan.