Oposisi Biner ‘Gelap-Terang’
Salah sebuah diantara berbagai realitas kategorisasi dua (binary oposition) adalah kategori ‘gelap (peteng, kresna) dan terang (padang, sukla)’. Dalam kehidupan nyata, suatu waktu orang berada atau dihadapkan dengan kondisi gelap, dan pada waktu lain pada keadaan terang. Apabila tengah berada dalam gelap, ada mutira kata bilang ‘jangan melangkah dalam gelap’, itu langkah tak bijak, bahkan bisa mencelakai diri. Terlebih lagi bila ‘bertindak gelap mata’, yang bukan hanya merugikan diri semdiri, namun amat mungkin membahayakan orang lain. Manakala berada di dalam gelap, orang berpengharapan ‘kapan terbit suasana terang’ – sebagaimana judul kumpulan surat R.A. Kartini ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Namun, kodisi terang itu janganlah terlampau terang, sebab bisa menyilaukan (mbloloki).
Dalam kondisi silau demikian, orang justru mengharapkan hadirnya keredupan, Namun, suasana redup itu jangan sampai kebablasan hingga menggulitakan (peteng dedet). Terang-gelap ternyata keduanya dibutuhkan, meski juga dicoba untuk diminimalkan menjadi ‘suasana yang pas’, yakni cukup terang atau cukup redup, terang secukupnya atau gelap secukupnya. Gelap-terang adalah dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya berlainan bahkan berlawanan, namun berelasi atau saling melengkapi, seperti waktu siang dan malam, sebagaimana warna hitam dan putih.
Cercah Sinar, Pencerah bagi Kegelapan
Sebagaimana dikemukakan diatas, dalam kondisi gelap dibutuhkan seberkas sinar yang mampu memberi penerang. Alam kematian adalah alam yang gelap, sehingga panjatan doa bagi arwah pun menggunakan idiom ‘sinar terang (nur), sebagaimana tergambar pada kalimat ‘berilah jalan terang di alam kubur’. Sumber terang adalah ‘cahaya (sinar)’, yang lantaran cahaya itu, maka suasana gelap berubah menjadi terang. Entah serta-merta terang atau beragsur-angsur menjadi terang, seperti berangsur-angsurnya terang di pagi hari berkat terbitnya matahari. Di sore hari, petang juga beragsur-agsur datang, lantaran beringsutnya mentari di belahan barat bumi, yang dikemudian digatikam secara beragsur-angsur oleh terang sinar bulan pada malam hari. Bulan dan matahari adalah komponen jagad raya yang mejadi sumber bagi terang. Oleh karena itu, leyapnya bulan atau matahari yang menurut mitologi ‘gerhana (grahana, grahono, atau blendrong)’ terjadi lantaran ‘dimakan raksasa (kahalap tahu)’ adalah kondisi yang ditakutkan oleh makhuk hidup, sehingga berjuang untuk mengagalkan.
Kedua sumber terang itu, yakni (1) bulan (candra, kirana, wulan, sasi, sasa, induja, atau ketana) dan (2) matahari (hari, surya, baskara atau baghaskara, adhitya, sang hyang E atau srengenge = sang E E dsb.), dalam ranah simbolik dijadikan lambang ‘pemberi terang’. Keduanya dapat disejajarkan dengan ‘ilmu (vidya)’, yang juga mampu menjadi penerang. Terkait itu, dapat difahami bila pada sadaran (stella) sisi atas dari arca Ganesya sebagai ‘Widyadewa” di situs Karangkates dilengkapi dengan pahatan yang berupa matahari dan bulan bersinar. Mahapahit sebagai pemerintahan pun menggunakan surya (matahari) – yang lazim dinamai ‘Surya Mahapahit’ – sebagai lambing bagi kerajaannya, untuk menggambarkan bahwa pemerintah berfungsi sebagai ‘pemberi tarang’ bagi rakyatnya.
Sebenarnya, yang utama dari makna simbolik dari matahari, bulan atau pustaka ilmu bukanlah bendanya, melainkan sinar yang terpancar (prabha) darinya. Oleh karena itu, bisa pula dimengerti apabila dalam ikonografi (seni-pahat) sesuatu yang menjadi penerang, seperti dewata, matahari, bulan, ilmu (digambakan sebagai ‘pustaka’), ajaran atau hukum (dharmma), dan yang sejenisnya, acap dilengkapi dengan pahatan yang berupa pancaran sinar atau nyala api (flame). Pada arca dewata misalnya, pacaran sinar digambarkan melingkari kepala dewata (sirascakra) atau bahkan seluruh tubuhnya (disebut ‘prabhawali’). Malaikat, Santo, Nabi, makhluk adikodrati, dan hal-hal suci lainnya lazim pula digambarkan dengan disertai ‘pancaran sinar (nimbus, aureole, hallo). Bahkan, dalam kitab gacaran Pararaton tokoh Ken Dedes yang ditafsir oleh Dang Hyang Lohgawe maupun bobotoh Bangosamparan (ayah angkat Ken Angrok) sebagai ‘strinareswari (wanita utama)’ digambarkan ‘mubyar hamurup rahsyanya (kemaluannya memancakan sinar)’.
Demikianlah, dalam banyak simbol religi, mitologi dan kesucian, sinar dihadirkan untuk memberi gambaran megenai susuatu yang “mencerahkan (inlighting)’ atau sesuatu yang ‘memberi terang’, yakni penerangan terhadap kegelapan. Konsep ‘pencerahan’ digunakan pula dalam hal profan. Pada Periodisasi Sejarah Eropa misalnya, Zaman (Periode) Pencerahan dipakai untuk menyebut kurun waktu kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pengganti periode sebelumnya, yang diamai ‘Zaman/ Periode Kegelapan, Dark Periode)’, dimana religi mendominasi hingga mengalahkan ilmu-pengetahuan. Dalam kosepsi Hindu pun terdapat konsep mengenai ‘zaman kegelapan (kaliyuga)’, namun dalam arti yang berlainan dengan itu, yaitu justru ketika religiusitas serendah-rendahnya.
Ilmu pengetahuan atau aplikasinya sebagai teknologi menurut konsepsi Barat adalah kunci (baca ‘solusi”) untuk mencerahkan yang gelap. Serupa itu, dalam konsepsi Hindu ada sebutan ‘awidya (tak berilmu)’ untuk menyatakan ‘kegelapan”. Dikonsepsikan bahwa ‘kegelapan (awidya) dialami oleh mereka yang berada dalam kebodohan’. Oleh karena itu pencerahan terjadi pada orang-orang yang dalam dirinya memiliki pengetahuan (widya). Islam pun menempatkan ilmu (‘ilm)psda posisi sentral, sebagamina tergambar pada ibarat penegasannya “tunyiylah ilmu hingga ke Negeri Cina”. Semua itu menunjukkan bahwa pencerahan adalah upaya dan kondisi yang penting bagi kehidupan, yakni untuk mengatasi kegelapan dalam kehidupan.
Bersambung ke bag. 2
M. Dwi Cahyono, Dosen Sejarah UM dan Budayawan Malang