KANAL24, Jakarta – Asosiasi Panas Bumi Indonesia meminta agar pemerintah segera membenahi kebijakan harga energi baru terbarukan (EBT), lantaran harga keekonomian dari proyek panas bumi yang dihitung pengembang selalu berada di atas daya beli PT PLN (Persero).
Menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi, pihaknya menyambut baik pernyataan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM , FX Sutijastoto yang mengatakan bahwa pemerintah sedang memperbaiki kebijakan harga EBT dan diharapkan pada awal tahun sudah ada Peraturan Presiden yang mengaturnya.
Dia menegaskan, seharusnya pemerintah segera turun tangan secara optimal untuk mengatasi kesenjangan harga EBT. “Tidak bisa lagi diperlakukan dalam hubungan B2B antara PLN dengan pengembang, karena ke depannya yang akan menikmati energi bersih adalah masyarakat. Kami paham dalam menentukan harga beli dan PLN punya undang-undang sendiri,” ujarnya dalam siaran pers yang dirilis di Jakarta, Senin (18/11/2019).
Prijandaru mengungkapkan, sejauh ini kendala pokok yang dihadapi para pengembang energi listrik panas bumi adalah masalah harga yang tidak pernah mendapatkan titik temu. Karena, lanjut dia, harga keekonomian proyek panas bumi yang dihitung para pengembang selalu berada di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
“Itu masalah klise sejak dahulu Bagaimana pun pengembang wajib untung dan mendapat margin dari harga proyek. Sementara itu, PLN untuk menentukan harga juga mempunyai undang-undang sendiri dan mereka juga diwajibkan mendapat untung oleh pemerintah,” ucap Prijandaru.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia ( METI ), Surya Darma mendukung adanya rencana peninjauan kembali tentang pengaturan pembelian tenaga listrik EBT yang ditetapkan oleh pemerintah paling tinggi 85 persen dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.
Selain itu, dia berharap ada pemberlakukan sistem tarif tetap dan bukan dengan negosiasi seperti yang selama ini berlaku dan juga dinilai memberatkan PLN. “Masalah harga merupakan salah satu tantangan pengembangan EBT yang harus kita pecahkan. Penetapan skema 85 persen dari BPP sangat tidak fair. Dengan pola negosiasi, kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi. Jadi. kami maklum kalau PLN tidak mau dengan kedua pola tersebut,” paparnya.
Surya mengapresiasi sikap Komisi VII DPR yang me-review regulasi-regulasi dari pemerintah, sejalan dengan rencana penerbitan UU Energi Terbarukan yang sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. “Hal itu merupakan dukungan terhadap pengembangan energi terbarukan dan telah menyerap aspirasi dari berbagai pihak,” katanya.
Selain itu, tambah dia, METI berharap agar pemerintah tidak melulu mengubah regulasi yang telah ada, karena regulasi yang kerap berubah akan menciptakan ketidakpastian hukum dan bisnis. Surya menegaskan, METI konsisten mendukung program pengembangan dan percepatan EBT menuju target 23 persen di 2025.
“Ini bagian dari target transisi, karena seluruh negara di dunia sedang menuju pengalihan energi rendah karbon. Kalau target itu tidak segera dilaksanakan, kami bisa langsung kolaps,” ucap Surya.
Sebelumnya, Menteri ESDM , Arifin Tasrif mengatakan bahwa potensi listrik yang sumber dari EBT di Indonesia mencapai 400 GW, namun realisasinya hanya sebesar 32 GW. “Sampai akhir 2018, EBT hanya menyumbang 8,6 persen dalam bauran energi nasional. Kami akan terus mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan penggunaan EBT menuju 23 persen di 2025 dan menjadi 30 persen di tahun 2050,” ujar Surya.
Idealnya, kata Surya, penggunaan listrik EBT di tahun 2025 sebesar 45 GW, baik dari PLN maupun dari swasta. “Artinya kurun lima tahun ke depan, kita bisa menambah menambah listrik EBT sebesar 9,9 GW,” ucapnya. (sdk)