Kanal24, Malang – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu fokus besar pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan generasi muda. Namun, di tengah besarnya target dan manfaat yang ingin dicapai, muncul perdebatan tentang perlu tidaknya ahli gizi dilibatkan secara penuh dalam penyelenggaraan program ini.
Polemik tersebut sekaligus membuka kesadaran bahwa kualitas pelayanan gizi tidak bisa berjalan optimal tanpa kehadiran tenaga profesional yang memahami perhitungan pangan, keamanan makanan, dan standar pemenuhan gizi seimbang. Eva Putri Arfiani, S,Gz., M.P.H., Dietisien., Ahli Gizi UB menegaskan kepada Kanal24 dalam wawancara online Jumat (21/11/2025) bahwa ahli gizi bukan sekadar pelengkap, tetapi penentu kualitas dalam keseluruhan siklus penyelenggaraan MBG.
Baca juga:
UB Menuju Workstation UNESCO, Dorong Diplomasi Budaya Indonesia di Level Global

Kompetensi Profesional yang Tidak Tergantikan
Ahli gizi merupakan tenaga kesehatan profesional dengan tiga kompetensi utama: gizi klinis, gizi komunitas, dan penyelenggaraan makanan. Mereka tidak hanya memahami kebutuhan energi dan zat gizi berdasarkan kelompok umur, tetapi juga mampu memastikan proses pengolahan makanan massal memenuhi standar higienis, aman, dan sesuai kebutuhan target. Dalam konteks MBG yang menyasar jutaan anak, keterlibatan ahli gizi sangat krusial guna mengantisipasi risiko malnutrisi, obesitas dini, hingga keracunan pangan akibat kesalahan teknis dalam pengolahan makanan.
Eva menegaskan, “Ahli gizi itu bukan hanya menghitung kalori, tapi memastikan seluruh proses penyelenggaraan makanan berjalan sesuai standar.” Tanpa kompetensi tersebut, risiko kesalahan teknis meningkat dan dapat berdampak pada kesehatan jutaan anak.
Risiko Pelaksanaan Tanpa Ahli Gizi
Ketidakhadiran ahli gizi dalam Satuan Penyelenggara Program Gizi (SPPG) menimbulkan sejumlah risiko. Pertama, ketidaktepatan perhitungan porsi dan energi dapat menyebabkan anak tidak mendapatkan kecukupan gizi harian, atau sebaliknya mendapat kalori berlebih. Kedua, bahan pangan yang dipilih bisa tidak sesuai standar, terutama pada daerah yang minim akses bahan berkualitas. Ketiga, risiko terbesar adalah keamanan pangan. Dalam penyelenggaraan makanan massal, kesalahan kecil dalam teknik penyimpanan, pengolahan, atau distribusi dapat memicu keracunan pangan yang berdampak luas.
Contoh kasus viral roti dan susu pada program makan sebelumnya menunjukkan pentingnya kehadiran ahli gizi. Eva menambahkan, “Satu kesalahan kecil dalam penanganan makanan massal bisa berdampak luas. Karena itu pengawasan ahli gizi tidak boleh ditawar.”
Tantangan Tenaga Gizi dan Kondisi Lapangan
Indonesia sebenarnya memiliki banyak tenaga gizi, dengan ratusan program studi yang melahirkan ribuan lulusan setiap tahun. Namun minat untuk bergabung ke SPPG masih rendah. Penyebabnya meliputi ketidakjelasan status kerja, hak dan beban kerja, serta jaminan profesional yang belum kuat. Rasio satu ahli gizi untuk 2.000–2.500 porsi per hari dinilai sangat tidak ideal, mengingat kompleksitas proses mulai dari perhitungan menu hingga evaluasi preferensi makan anak.
Selain itu, kondisi lapangan sangat beragam. Pilihan bahan makanan tidak selalu tersedia, distribusi sering terkendala waktu, dan daya terima anak terhadap makanan bergizi menjadi tantangan tersendiri. Semua faktor tersebut menegaskan bahwa peran ahli gizi adalah sentral, bukan sekadar pendukung teknis.
Keberhasilan MBG bergantung pada kepakaran tenaga ahli gizi dalam memastikan mutu, keamanan, dan ketepatan gizi. Tanpa keterlibatan mereka, esensi program dapat bergeser dan mengurangi dampak jangka panjang bagi kesehatan generasi penerus. (nid)










