Kanal24, Malang – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2024 hanya mencapai 5,03 persen year on year (yoy). Angka ini sedikit di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,2 persen, dan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi tahun 2023 yang sebesar 5,05 persen.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2024 sebesar 5,02 persen lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang hanya 4,95 persen. Namun, jika dibandingkan dengan kuartal IV 2023, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2024 masih lebih rendah.
“Secara q to q, pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2024 tumbuh sebesar 0,53 persen, di mana pertumbuhan ekonomi secara q to q ini sejalan dengan pola musiman seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu pertumbuhan q to q di triwulan IV relatif lebih rendah daripada triwulan III,” jelas Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024 ditopang oleh pertumbuhan Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) sebesar 12,48 persen, diikuti oleh impor barang dan jasa (7,95 persen), konsumsi pemerintah (6,61 persen), ekspor barang dan jasa (6,51 persen), konsumsi rumah tangga (4,94 persen), dan pembentukan modal bruto tetap (PMTB) sebesar 4,61 persen.
Dari sisi lapangan usaha, industri pengolahan menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 0,90 persen, perdagangan sebesar 0,67 persen, konstruksi sebesar 0,64 persen, dan informasi dan komunikasi sebesar 0,50 persen.
Sayangnya, satu komponen yang menahan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi adalah net ekspor. Meskipun ekspor barang dan jasa tumbuh positif, namun pertumbuhannya lebih kecil dibandingkan tahun 2023.
“Maka sumbangan terhadap pertumbuhannya terlihat negatif 0,21 persen. Jadi ini salah satu faktor yang agak menahan dari pertumbuhan yang lebih tinggi,” kata Amalia.
Meski melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan masih terbilang solid dibandingkan beberapa negara lain. Pertumbuhan sebesar 5,02 persen masih lebih besar dari pertumbuhan ekonomi Singapura (4,3 persen), Malaysia (4,8 persen), atau Arab Saudi (4,4 persen).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal IV yang sebesar 5,02 persen dan 5,03 persen membuat Indonesia masuk dalam zona pertumbuhan 5 persen.
“Sesuai pola musiman, pertumbuhan ekonomi di kuartal keempat lebih rendah dibandingkan kuartal ketiga. Namun, aktivitas ekonomi tetap kuat oleh momentum liburan Natal dan Tahun Baru serta dampak dari penyelenggaraan Pilkada yang lalu,” kata Airlangga.
Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai bahwa pelambatan ekonomi nasional disebabkan oleh pelemahan daya beli masyarakat yang tercermin dari deflasi beruntun dari Mei hingga September 2024. Pelemahan daya beli ini disebabkan oleh stagnasi harga komoditas yang mempengaruhi pendapatan masyarakat, terutama yang hidup di daerah yang bergantung pada komoditas.
“Ini berpengaruh juga terhadap konsumsi domestik plus ada juga iklim suku bunga yang relatif meningkat pada tahun lalu. Ini juga berpengaruh terhadap kemampuan konsumen untuk beli barang atau pun juga banyak yang terkena hambatan juga untuk konsumsi agresif, karena suku bunga itu relatif tinggi, jadi mereka fokus untuk membayar cicilan daripada membeli barang,” jelas Myrdal.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa simpang siur kenaikan tarif PPN juga membuat masyarakat menahan belanja di akhir tahun 2024. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi nasional yang seharusnya bisa melonjak tinggi karena momen Natal dan Tahun Baru menjadi terbatas.
Dengan pelemahan daya beli yang masih terjadi hingga akhir tahun, ditambah dengan fenomena kenaikan harga pangan dan kelangkaan gas LPG 3 kg di awal tahun, Bhima yakin ekonomi nasional hanya akan tumbuh di level 4,7 persen. Ia juga menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah tidak realistis.
“Jadi wacana pertumbuhan ekonomi 8 persen itu sangat tidak realisis, melihat kondisi sekarang. Fokusnya adalah melindungi daya beli masyarakat, bukan fokus pencapaian pertumbuhan yang 8 persen,” kata Bhima.
Untuk menjaga daya beli masyarakat, Bhima menyarankan agar pemerintah menghentikan kebijakan-kebijakan yang membebani masyarakat, seperti asuransi wajib kendaraan bermotor, kebijakan iuran BPJS Kesehatan, dan iuran wajib Tapera. Ia juga meminta agar pemerintah berhati-hati terhadap kebijakan pemangkasan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah (TKD).
Meski tak mencapai target pertumbuhan di 2024, Airlangga optimistis target pertumbuhan 5,2 persen di 2025 akan tercapai. Pemerintah akan terus menyiapkan kebijakan-kebijakan untuk mendorong ekonomi nasional tumbuh di kuartal I 2025, seperti paket stimulus ekonomi HBKN, insentif bagi sektor properti, kendaraan listrik, dan industri padat karya. (nid)