Kanal24, Malang – Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini, menurut Prabowo, adalah amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam konferensi persnya di Kementerian Keuangan, Prabowo menyatakan bahwa kenaikan PPN dilakukan bertahap sejak 2022, dari 10% menjadi 11%, dan kini menjadi 12%.
“Kenaikan bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Prabowo.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperjelas bahwa kenaikan ini hanya berlaku untuk barang dan jasa kategori “mewah,” seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, dan properti di atas Rp30 miliar. Dalam unggahan di media sosialnya, Sri Mulyani menegaskan, “PPN tidak naik” untuk barang dan jasa yang selama ini dikenakan PPN 11% atau yang bebas PPN sesuai PP 49/2022.
Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif, termasuk bantuan beras 10 kg selama dua bulan untuk 16 juta penerima, diskon listrik, hingga pembebasan pajak UMKM beromzet di bawah Rp500 juta per tahun, sebagai langkah mitigasi dampak kebijakan ini.
Meski demikian, transparansi komunikasi kebijakan ini menjadi sorotan. Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB Universitas Brawijaya, Prof. Setyo Tri Wahyudi, mengkritik cara pemerintah menyampaikan informasi terkait kebijakan ini. Menurutnya, pemerintah terkesan “mencicil” informasi, yang menyebabkan spekulasi berkembang di masyarakat. Akibatnya, muncul keresahan yang justru memberikan dampak psikologis lebih berat daripada kebijakan itu sendiri.
Kritik terhadap Strategi Komunikasi Kebijakan
“Apakah kebijakan ini efektif?” tanya Prof. Setyo. Efektivitas kebijakan bukan hanya diukur dari dampaknya terhadap penerimaan negara, tetapi juga dari bagaimana kebijakan itu memengaruhi psikologis masyarakat. Momentum penerapan kenaikan PPN ini, yang bertepatan dengan awal tahun serta mendekati bulan Ramadhan dan Idul Fitri, menambah beban psikologis. Secara tradisional, kedua momen tersebut selalu diwarnai kenaikan harga kebutuhan pokok.
Bank Indonesia, melalui Survei Penjualan Eceran (SPE-BI) November 2024, memperkirakan tekanan inflasi akan meningkat pada Januari 2025 dengan Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) mencapai 157,8 poin, lebih tinggi dibandingkan Desember 2024 yang berada di level 152,6 poin. Prof. Setyo mengingatkan bahwa tekanan inflasi sering kali disebabkan oleh terganggunya pasokan (supply) dan melemahnya daya beli masyarakat (demand). Dalam konteks ini, pemerintah perlu memastikan kelancaran pasokan kebutuhan pokok dan efektivitas distribusi bantuan sosial seperti BLT.
Mencari Jalan Keluar: Kebijakan yang Lebih Terukur
Prof. Setyo menyoroti pentingnya perbaikan data penerima bantuan sosial untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Ia juga menekankan bahwa BLT, meskipun efektif dalam jangka pendek, bukan solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Pemerintah harus mulai mengembangkan kebijakan berbasis teknologi yang memungkinkan pengelolaan dampak kebijakan secara lebih sistematis dan efisien.
“Jika pemerintah mampu menjaga pasokan kebutuhan pokok dan memastikan bantuan sosial disalurkan dengan baik, tekanan inflasi pada kuartal pertama 2025 dapat diredam,” ujar Prof. Setyo. Namun, langkah ini memerlukan koordinasi yang kuat antara berbagai pihak, termasuk kementerian terkait, Bank Indonesia, dan pelaku usaha.
Mengelola Dampak Kebijakan PPN
Untuk meredam keresahan masyarakat akibat kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%, Prof. Setyo menekankan bahwa pemerintah perlu mengutamakan transparansi dalam menyampaikan informasi. Komunikasi yang jelas dan menyeluruh akan menghindarkan masyarakat dari spekulasi yang dapat memicu keresahan.
Selain itu, peningkatan akurasi database penerima bantuan menjadi langkah krusial. Dengan data yang valid dan terintegrasi, distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta insentif lainnya dapat dilakukan secara efisien dan tepat sasaran, memastikan bahwa bantuan sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengembangkan kebijakan jangka panjang yang berbasis teknologi untuk menangani dampak kebijakan secara lebih terukur. “Sistem pemantauan harga digital dan pengelolaan pasokan kebutuhan pokok yang terintegrasi bisa menjadi solusi,” jelas Prof. Setyo.
Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, stabilisasi pasokan kebutuhan pokok juga harus menjadi prioritas utama untuk mencegah lonjakan harga yang tidak terkendali. Langkah-langkah ini tidak hanya akan membantu menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga menciptakan fondasi ekonomi yang lebih stabil dan inklusif.
Kenaikan PPN 12% adalah kebijakan yang diperlukan untuk mendukung penerimaan negara, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada transparansi komunikasi dan efektivitas langkah mitigasi dampaknya. Pemerintah harus menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran untuk merancang kebijakan yang tidak hanya patuh hukum, tetapi juga memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Dengan transparansi, koordinasi yang baik, dan kebijakan yang terukur, tekanan inflasi dan keresahan masyarakat dapat dikelola secara lebih baik. (din)