Kanal24, Malang – Pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Menteri Keuangan memastikan bahwa barang kebutuhan pokok tetap bebas dari PPN. Namun, kebijakan ini menuai kritik, terutama terkait dampaknya terhadap masyarakat menengah ke bawah.
Menurut Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, pengecualian barang pokok dari PPN bukanlah kebijakan baru. Pengecualian ini sudah diatur sejak Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, jauh sebelum UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tahun 2021. “Klaim pemerintah seolah-olah ini kebijakan baru lebih terlihat sebagai manuver politik untuk meredam kritik,” ujarnya.
Dampak Kenaikan terhadap Pengeluaran Rumah Tangga
Kenaikan PPN diproyeksikan menambah beban ekonomi masyarakat. Kelompok miskin diperkirakan menghadapi tambahan pengeluaran sebesar Rp101.880 per bulan, sedangkan kelas menengah sekitar Rp354.293 per bulan.
“Kebijakan ini dapat memperburuk penurunan kelas menengah menjadi kelas rentan. Padahal, pengecualian barang pokok dari PPN sudah lama berlaku. Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah,” kata Wahyudi.
PPN Indonesia dalam Perbandingan Global
Wahyudi juga mengkritisi perbandingan tarif PPN Indonesia dengan negara-negara maju seperti Norwegia atau Jerman. Menurutnya, negara-negara tersebut memiliki daya beli masyarakat yang kuat, inflasi rendah, dan ekonomi stabil. Kondisi ini membuat tarif PPN tinggi tidak membebani masyarakat.
Sebaliknya, di Indonesia, kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah sedang tertekan. Pemerintah, menurut Wahyudi, seharusnya lebih adil dengan membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara-negara ASEAN. “Faktanya, tarif PPN Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di kawasan ini,” tegasnya.
Barang Mewah Jadi Fokus Pengenaan PPN 12%
Dalam konferensi pers, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa kenaikan PPN difokuskan pada barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu. Barang premium seperti beras, buah, daging, dan pelayanan kesehatan serta pendidikan premium akan dikenakan PPN 12%.
Airlangga juga mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan insentif ekonomi sebesar Rp265,6 triliun untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga. Insentif ini mencakup pembebasan PPN untuk barang dan jasa kebutuhan dasar seperti bahan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan angkutan umum.
Risiko dan Tantangan Kebijakan
Meskipun insentif diberikan, kritik terhadap kebijakan ini tetap mengemuka. Banyak pihak menilai bahwa kenaikan PPN akan menekan daya beli masyarakat, khususnya kelompok rentan. Di sisi lain, langkah pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN dianggap perlu demi mendorong penerimaan negara.
Seiring implementasi kebijakan ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan skema mitigasi berjalan efektif agar dampak negatif terhadap kelompok masyarakat bawah dapat diminimalkan. (nid)