KANAL24, Malang – Tanpa terasa Ramadhan sudah lebih dari separuh kita lalui. Mari kita introspeksi diri dengan satu pertanyaan sederhana. Sudah benarkah puasa kita?
Tentu semua akan menjawab, puasa untuk Allah dan Allah pula yang mentukan pahala bagi mereka yang berpuasa. Karena itu tidak mudah menjawab sudah benar atau belum puasa kita. Betul sekali, tetapi kita tetap harus mengoreksi diri sendiri.
Dengan puasa yang benar, sesuai yang dicontohkan Rasulullah, tentu kita setelah sepuluh hari pertama Ramadhan dijalani, kita sudah mendapat rahmat Allah. Tapi yakinlah kita sudah meraihnya? Tidak seorangpun umat Islam yang sadar kekurangannya akan menjawab sudah. Karena khawatir ada nada kesombongan pada jawaban itu.
Sebagai manusia yang penuh kekurangan, . sangat wajar bila tidak seorangpun yang yakin. Karena itu senyampang masih tersisa setengan bulan lagi, mari sama-sama memperbaiki puasa kita. Karena masih ada maghfirah Allah yang akan kita kejar dan pembebasan dari api neraka yang ingin kita raih.
Puasa, jika hanya sekedar menahan lapar dan haus tentu banyal yang bisa. Bahkan putra-putri atau adik-adik yang kecil sudah mampu melaksakannya. Biarkanlah, karena mereka masih dalam posisi berlatih puasa. Tapi untuk kita, kalau hanya ditataran itu, khawatirnya, kita hanya mendapat lapar dan dahaga saja. Sedang amalnya tidak diberikan Allah. Padahal, imbalan pahala bagi orang yang puasa, termasuk salah satu yang besarannya tidak terbatas.
Kini selain kita puasa menahan lapar dan haus, serta syahwat disiang hari, mari bersama kita puasa lidah, agar tidak berghibah, apalagi menfitnah. Ini juga terkait dengan jari-jemari yang biasa “bermain” di perangkat elektronik. Hentikanlah “perang” komentar yang menjelekkan orang lain. Karena bukan tidak mungkin, orang itu atau mereka itu lebih baik dari kita.
Puasakan pula mata dan telinga dari melihat dan mendengar apapun yang bisa merusak puasa. Batasi langkah kaki dengan hanya menuju ke tempat yang diridhai Allah. Apalagi di hari-hari terakhir Ramadhan. Pesona diskon mal lehih menggiurkan dibanding panggilan muazin untuk shalat tarawih. Kaum ibu mungkin lebih suka “tawaf” di mal pada akhir Ramadhan.
Lebih dari itu, puasakan juga hati dari keinginan yang berlebihan. Karena merayakan Idul Fitri tidak berarti berpesta pora. Silakan punya makanan enak, tapi ingatkan diri untuk berbagi dengan tetangga yang mungkin di hari bahagia itu hanya makan seadanya, bahkan mungkin kurang. Boleh beli baju baru yang bagus, tapi tolong juga belikan, terutama orang tua yang dulu membelikan kita baju baru Idul Fitri sejak kecil, bahkan saudara kita yang kurang mampu nun jauj di kampung halaman.
Boleh saja punya uang banyak persiapan Idul Fitri. Bahkan sebagian sudah menukarnya dengan uang baru di bank. Tetapi jangan lupa segerakan membayar zakat fitrah untuk diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungjawab kita. Jangan tunggu di hari-hari terakhir, supaya penerima punya waktu menggunakannya sesuai keperluan.
Kalaulah sudah waktunya mengeluarkan zakat harta, karena sudah cukup nisabnya, atau ingin bersedekah, serahkanlah kepada penerima. Janganlah diminta mengambil, apalagi beramai-ramai dan harus antri sampai berdesakan. Cara seperti itu khawatir riya’ dan juga dapat menimbulkan masalah lain. Karena itu, senyampang puasa Ramadhan masih panjang, marilah bertekad meraih yang lebih baik. Semoga Allah SWT mengabulkan harapan itu, sehingga usai Ramadhan semua kembali menjadi fitri… (Mondry).
Penulis : Mondry (Dosen FISIP UB)