Allah telah menganugerahkan ilmu pada setiap manusia semenjak awal penciptaannya. Dengan ilmu tersebut menjadikan manusia dapat mengenali nama-nama (ilmu pengetahuan). Sebagaimana Allah berfirman :
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِـُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah : 31)
Penguasaan atas suatu ilmu haruslah diupayakan melalui thalabul ilmu, menuntut ilmu, agar pengetahuan atau pemahaman bertambah. Perbedaan penguasaan ilmu inilah yang menentukan tingkat derajat seseorang, apakah akan menjadi alim (pintar) atau jahil (bodoh) yang keduanya tentu tidaklah sama.
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9)
Namun bukan berarti kepintaran diperbolehkan meremehkan mereka yang bodoh. Karena kepintaran itu hanyalah persoalan sudut pandang dan wilayah penguasaan kemampuan keahlian. Seseorang mungkin mampu dan ahli di suatu bidang, namun tidak menguasai pada bidang lainnya. Dalam sebuah diskusi di medsos seorang teman menyatakan bahwa, “Manusia sekarang terlalu mengagungkan orang pintar, mereka lupa bahwa nyatanya orang bodohlah yang membuat mereka pintar.”
Agar kepintaran tidak mudah meremehkan orang lain dan kebodohan tidak mudah merendahkan diri maka perlu melakukan relaksasi. Menertawakan kebodohan diri sendiri adalah salah satu stimulus yang sebenarnya sangat bijaksana sebagai salah satu cara relaksasi. Kita harus berani melakukan kebodohan kepada diri kita sendiri. Menertawakan betapa cerobohnya kita di masa lalu. Dan yang paling penting, kita tahu bahwa kita adalah makhluk yang tidak sempurna. Hingga akhirnya kita selalu belajar, belajar dan belajar dari ketidaksempurnaan itu.
Selayaknya kebodohan, maka kepintaran pun perlu juga direlaksasikan. Relaksasi kepintaran adalah dengan menjedakan sejenak kepintaran dengan membenamkannya dalam bumi tawadhuan. Karena bagaimana mungkin sesuatu akan tumbuh apabila tidak pernah dibenamkan ke bumi. Sebuah ungkapan cerdas dari ibnu Athaillah as Sakandary mengatakan,
إدفن وجودك في أرض الخمول فما نبت مما لم يُدفَن لا يتمُّ نتاجْه
Benamkan keberadaanmu di dalam bumi yang tersembunyi, apa yang tumbuh dari suatu yang tidak terpendam (di bumi) maka buahnya tidaklah sempurna.
Bagaimana mungkin suatu tetumbuhan akan berbuah sempurna sementara ia tidak dibenamkan ke dalam tanah. Dan bagaimana mungkin ilmu akan menjulangkan kemuliaannya dan menghasilkan buah akhlaq yang agung jika si pemiliknya tidak bersedia membenamkan dirinya ke dalam bumi ketawadhuan, kerendahan hati untuk bersimpuh ( ndhlosor) dalam melayani (khidmad) pada manusia dan kehidupan. Relaksasi kepintaran membutuhkan kesediaan untuk menurunkan sikap egoismenya dan kemudian bersedia mendengar serta peduli pada berbagai bisikan perasaan orang lain, hingga dirinya mampu memperlakukan memanusiakan selayaknya manusia yang mulia, human humaniziation.
Buah ilmu adalah akhlaq mulai yang menjadi mahkota sebuah peradaban. Bangunan utuh pola interaksi kemanusiaan yang berupa sekumpulan identitas terluas dari seluruh karsa cipta manusia yang dibangun dalam bingkai adab (nilai-nilai akhlaqul karimah) atas seluruh aspek kehidupan manusia sehingga mampu menghasilkan berbagai realitas baik fisik (misalnya arsitektur, bangunan, dsb), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun iptek), yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, simbol, pola interaksi hingga institusi yang mampu memuliakan derajat kemanusiaan dan mengagungkan kebesaran Sang Pencipta, itulah yang disebut peradaban, sebagai buah dari pada ilmu yang telah berhasil melakukan relaksasi kepintaran dan kebodohan sekaligus. Karena tanpa relaksasi kepintaran dengan ketawadhuan dan relaksasi kebodohan dengan pengakuan kelemahan diri maka bagaimana mungkin manusia akan bisa mengetahui akan hakekat dirinya dan penciptaNya jika tanpa pengakuan kelemahan Sebagaimana Firman-Nya :
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ
Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji. (QS. Fathir : 15)
Kesediaan mengakui kelemahan akan mengantarkan pada ketawadhuan diri yang selanjutnya akan mampu membuka tabir rahasia ilmu dan puncaknya adalah pengagungan atas Sang Pencipta yang menkreasikan seluruh ciptaan hingga mencapai derajat ulul albab. Sebagaimana Firman Allah swt :
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ. ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Ali ‘Imran :190-191)
Itulah puncak daripada relaksasi keilmuan. Yaitu kesediaan merendahkan diri atas penciptaan untuk menemukan ketinggian dan keagungan Sang Pencipta. Melalui terus menerus berpikir tentang ciptaan hingga mampu menghadirkan spiritualitas berpikir berupa kesadaran diri atas kebesaranNya sehingga lahir ketundukan dan kepatuhan padaNya.
Marilah kita lakukan relaksasi dalam pikiran kita dengan menempatkan hati dalam posisi sentral mereaksi berbagai realitas yang menyertai kehidupan ini. Semoga dengan demikian kita akan menemukan hakekat penciptaan dan dapat lebih mengenali diri dengan baik dan mengenali Tuhan kita jauh lebih baik. Semoga Allah swt meridhai setiap langkah kita semua. Aamiiin..
Akhmad Muwafik Saleh, Dosen FISIP UB dan Motivator