Oleh: AminullahA.M, Msc, Fin Dosen FEB UB
Hidup hemat merupakan salah satu karakter seorang Muslim. Karena, segala sesuatu yang berlebih-lebihan tidak akan berdampak positif dalam kehidupan. “Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tidak angkuh” (HR. An-Nasa’i 2512, Ibnu Majah 3595 dan Ahmad 6408). Dengan demikian, berhemat adalah salah satu bentuk rasa syukur kita sebagai hamba terhadap segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah ﷻ .
Dalam setiap perintah maupun larangan yang diberikan oleh Allah ﷻ termasuk di dalamnya anjuran untuk hidup hemat, tentu bukan tanpa tujuan. Karena, Allah ﷻ lebih mengetahui apapun yang terbaik untuk makhluknya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).
Allah ﷻ berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ َ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Qs. Al-Baqarah: 155).
Dalam hal ini, hidup hemat sangat dianjurkan sejak dini. Selain untuk melatih nafsu diri, juga untuk berjaga-jaga terhadap suatu kejadian yang mungkin tidak dapat diprediksi nanti, seperti terjadinya krisis atau pandemi saat ini. Di masa-masa krisis, hidup hemat bukan lagi sebuah anjuran, melainkan menjadi keharusan. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Nabi Yusuf as, dalam program yang dibuatnya untuk menghadapi krisis yang akan datang. Yaitu dengan mengurangi konsumsi selama tujuh tahun kesuburan, dan menyimpan sebagiannya lagi untuk persediaan saat masa krisis tiba.
قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَاَبًاۚ فَمَا حَصَدْتُّمْ فَذَرُوْهُ فِيْ سُنْۢبُلِهٓ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تَأْكُلُوْن َ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَّأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْن َ
“Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan” (QS. Yusuf: 47-48).
Baca juga:
Iman, Taqwa, Kemaslahatan, dan Istiqomah dalam Berekonomi
Secara sederhana, hidup hemat dapat membentuk ketahanan ekonomi pribadi. Karena, memiliki perencanaan keuangan yang baik untuk pengeluaran pada pos-pos yang dibutuhkan, serta pengendalian diri terhadap keinginan-keinginan yang mengantarkan pada gaya hidup konsumtif. Sehingga, menghindarkan diri dari hutang karena bersikap jujur dan bersyukur terhadap kondisi keuangan yang dimiliki.
Selain itu, hidup hemat berarti memiliki gaya hidup untuk lebih banyak menyimpan daripada membelanjakan untuk hal-hal yang kurang, bahkan tidak, penting. Sehingga, bersikap hemat mengajarkan diri untuk bertanggung jawab terhadap setiap pengeluaran yang dilakukan, dan mampu menghargai setiap penghasilan yang diterima. Dengan demikian, akan mampu melatih toleransi dan empati terhadap kehidupan orang lain.
Hidup secara hemat dan sederhana sangat penting dilakukan, apalagi di masa krisis seperti saat ini. Dengan bersikap hemat, setiap pundi rupiah yang dikeluarkan akan menciptakan efisiensi untuk hari ini, lalu jika diinvestasikan dan dikembangkan menjadi sumber daya produktif akan menciptakan akumulasi keuangan yang baik di masa depan. Maka, setiap orang yang berhemat telah berkontribusi untuk daya tahan ekonomi bersama yang lebih kuat.(*)
Wallahu a’lam bisshowab.