KANAL24, Malang – Kasus omicron pertama telah terdeteksi di Indonesia dan membuat sistem kesehatan Indonesia harus kembali siaga. Menurut penjelasan dr.Andrew William Tulle, M.Sc, staf divisi virologi departemen mikrobiologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Varian Omicron merupakan varian virus SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, yang mengalami sejumlah besar mutasi pada protein S (protein spike). Protein ini berperan penting dalam proses penempelan pada sel manusia yang diinfeksi yang akan mempengaruhi kemampuannya bertahan hidup dalam sel dan juga akan mempengaruhi kemampuan transmisinya.
“Untuk varian Omicron ini masih dalam proses penelitian untuk bisa memahami lebih lanjut sifat-sifatnya tapi WHO sudah merilis hasil dari penelitian awal. Berdasarkan data yang ada, baik kasus di Afrika tempat pertama kali varian ini teridentifikasi maupun di negara-negara lain. Varian Omicron ini lebih mudah ditransmisikan dibandingkan varian-varian sebelumnya. Data-data yang ada menunjukkan, Omicron sekitar 3-6 kali lebih mudah ditransmisikan dibandingkan varian virus COVID-19 lain, sehingga ada kemungkinan varian ini akan menjadi varian yang mendominasi infeksi COVID-19 menggantikan varian Delta,” papar Andrew, Selasa (4/1/2022).
Lanjutnya, untuk derajat sakit yang ditimbulkan, menurut WHO data sementara menunjukkan bahwa varian ini menyebabkan gejala yang lebih ringan. Tapi hasil ini masih data awal yang masih perlu diteliti lebih lanjut dan diwaspadai karena mungkin saja gejala ringan ini tampak karena yang terjangkit adalah kelompok dewasa muda yang tidak memiliki komorbid. Selain itu, dengan kemampuan penularan yang lebih besar daripada varian sebelumnya dapat menyebabkan jumlah yang terinfeksi cukup banyak. Jumlah kasus yang banyak ini dapat menyebabkan kesulitan atau memberatkan bagi sistem Kesehatan yang tidak siap.
Sedangkan untuk efektivitas vaksin saat ini juga masih dalam penelitian lebih lanjut, tapi diduga ada penurunan efektivitas vaksin yang ada saat ini. Varian Omicron mengalami sejumlah besar perubahan pada protein S dan vaksin-vaksin yang ada saat ini didesign untuk mengenali bagian dari protein S milik virus COVID-19. Perubahan pada protein S dapat menyebabkan virus ini sulit dikenali oleh sistem kekekebalan tubuh, sehingga dapat menghindari sistem kekebalan tubuh manusia yang diinfeksi.
“Perlu diingat bahwa sekalipun ada penurunan efektivitas vaksin, kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin terbukti dapat mencegah terjadinya kasus COVID-19 berat, sehingga dengan kejadian COVID-19 berat yang dapat dicegah, maka angka kematian dan kesakitan akibat COVID-19 dapat ditekan. Namun, Direktur Jenderal WHO mengingatkan bahwa vaksin saja tidak bisa menghentikan transmisi COVID-19. Setelah mendapat vaksin, masyarakat tetap dianjurkan untuk memakai masker, jaga jarak dan menghindari kerumunan, menjaga kebersihan tangan, dan memastikan kondisi ventilasi udara baik,”jelasnya.
Seluruh protokol kesehatan harus dilaksanakan dengan baik dan konsisten untuk dapat meminimalisir transmisi COVID-19. Sekalipun upaya-upaya tersebut mungkin tidak dapat betul-betul menghentikan transmisi hingga mencapai angka nol, setidaknya dapat mengurangi kejadian penularan dan mengurangi jumlah orang yang sakit akibat COVID-19, sehingga mengurangi beban fasilitas pelayanan kesehatan dan mencegah agar tidak sampai colaps. Selain itu juga kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan baik dari segi sarana prasarana seperti ketersediaan oksigen maupun sumber daya manusia atau tenaga kesehatan. (Meg)