Kanal24, Malang – Kekerasan seksual (KSP) dan perundungan masih menjadi isu penting yang perlu mendapatkan perhatian serius di lingkungan kampus. Untuk itu, Universitas Brawijaya (UB) melalui Satuan Tugas Pencegahan Perundungan dan Kekerasan Seksual (PPKS) telah mengembangkan berbagai strategi dalam menangani kasus-kasus yang muncul.
Dalam wawancara dengan Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi.Psikolog, salah satu Tim Satgas PPKS UB pada Senin (25/11/2024, ia memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam penanganan kasus KSP serta langkah-langkah yang telah diambil oleh pihak universitas.
Ulifa Rahma menyampaikan pandangannya saat acara Brawijaya Tempoe Doeloe pada Senin (25/11/2024), yang digelar oleh Dharma Wanita Persatuan (DWP) Universitas Brawijaya (UB).
“Salah satu tantangan terbesar dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah terkait dengan bukti-bukti. Seringkali korban kesulitan dalam memperoleh bukti yang cukup untuk mendukung laporan mereka. Hal ini membuat proses verifikasi dan rekomendasi kepada fakultas menjadi lebih lama,”ungkapnya
Selain itu, kasus yang melibatkan pelaku dari pihak luar kampus juga menambah kesulitan dalam identifikasi dan penanganannya. Untuk itu, pihak Satgas PPKS berusaha melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan lembaga hukum lainnya untuk mendapatkan dukungan dalam pencarian identitas pelaku dan memberikan pendampingan hukum kepada korban.
“Satgas PPKS UB telah menerapkan berbagai program untuk mencegah kekerasan seksual dan perundungan di kampus. Salah satu program utama adalah melalui Lembaga Dakwah Kampus dan Satgas PPKS Fakultas (LDKSP), yang mengadakan sosialisasi, workshop, dan diskusi mengenai pencegahan kekerasan seksual dan perundungan. Selain itu, juga dibentuk tim konselor di setiap fakultas untuk memberikan penyuluhan dan edukasi kepada mahasiswa,” paparnya.
Tidak hanya itu, pihak universitas juga menjalin kerjasama dengan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Universitas Brawijaya untuk memperluas cakupan sosialisasi dan pencegahan di berbagai tingkat fakultas. Selain itu, UB juga aktif menggunakan media sosial seperti Instagram untuk menyebarluaskan informasi terkait pencegahan kekerasan seksual, serta mengadakan diskusi-diskusi dengan organisasi kemahasiswaan, seperti BEM dan UKM.
Pihak Satgas PPKS juga berusaha memberikan pendekatan yang lebih personal kepada korban dengan menyediakan layanan konseling dan tempat aman. Setelah korban merasa aman secara psikologis, pihak universitas akan memulai proses asesmen untuk menentukan apakah pelaporan kasus akan diteruskan ke tahap hukum.
Ketika kasus kekerasan seksual atau perundungan dilaporkan, Satgas PPKS UB memiliki prosedur operasional standar (SOP) yang jelas dalam menangani kasus tersebut. Jika laporan dinyatakan memenuhi kriteria, maka proses asesmen dilakukan terhadap terduga pelaku dan penyintas.
Berdasarkan hasil asesmen, Satgas PPKS akan menyusun rekomendasi dan kesimpulan yang kemudian disampaikan ke fakultas terkait untuk ditindaklanjuti. Fakultas akan memproses sanksi terhadap pelaku, yang bisa berupa sanksi ringan, sedang, hingga berat, termasuk pemecatan.
Menurut Ulifa, meskipun jumlah kasus yang tercatat di UB cukup signifikan, ini tidak berarti kampus gagal menangani masalah tersebut. Sebaliknya, peningkatan jumlah laporan justru mencerminkan kesadaran yang lebih tinggi di kalangan mahasiswa terhadap masalah kekerasan seksual dan perundungan.
“Sebagai contoh, pada tahun ini, ada sekitar 60 laporan yang telah ditangani dengan berbagai tahap proses, mulai dari konseling hingga pelaporan hukum,” Ulifa menuturkan.
Untuk mendukung proses penanganan, UB juga memberikan pendampingan kepada korban dan saksi-saksi yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual atau perundungan. Selain psikolog dan konselor, universitas juga menyediakan layanan konsultasi hukum untuk membantu korban dan pihak terkait memahami hak-hak mereka.
Ulifa menekankan, “Penanganan tidak hanya terbatas pada korban, namun juga melibatkan pelaku dan pihak-pihak yang terdampak lainnya. Pendampingan ini bertujuan untuk memberikan dukungan emosional dan hukum agar semua pihak yang terlibat bisa melalui proses ini dengan sebaik-baiknya.”
Pihaknya berharap berharap bahwa ke depan, kampus dapat semakin memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta perundungan. Meskipun berbagai strategi sudah diterapkan, penting untuk terus meningkatkan kesadaran di kalangan mahasiswa dan tenaga pendidik terkait masalah ini. Kolaborasi dengan berbagai pihak, baik itu lembaga pemerintah maupun organisasi kemahasiswaan, akan sangat membantu dalam menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman dan mendukung.
Dengan adanya Satgas PPKS UB yang aktif dan berkomitmen terhadap pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual dan perundungan, diharapkan Universitas Brawijaya dapat menjadi contoh bagi kampus-kampus lain dalam membangun lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif bagi seluruh mahasiswa.
Penanganan kasus kekerasan seksual dan perundungan di Universitas Brawijaya menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan bukti hingga kompleksitas identifikasi pelaku. Namun, dengan adanya berbagai program pencegahan yang melibatkan seluruh elemen kampus, serta sistem penanganan yang profesional dan terstruktur, UB berusaha untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi mahasiswanya. Pendampingan psikologis dan hukum bagi korban, serta proses penegakan hukum yang transparan, menjadi langkah penting dalam upaya menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan seksual dan perundungan. (nid/sil/din)