A. Makna Istilah Konseptual “Swayambara”
Dalam bahasa Indonesia terdapat kosa kata “sayembara”, yang berarti : perlombaan dengan memperebutkan hadiah (KBBI, 2002:1005). Kata jadian “menyayembarakan” menunjuk kapada : memperlombakan. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Jawa Baru “sayemboro”, yang juga berarti : perlombaan untuk perebutkan hadiah (Mangunsuwito, 213:430). Begitulah, sayembara (bahasa Jawa “sayemboro”) acapkali diartikan sebagai perlombaan, uji ketrampilan atau ketangkasan yang diikuti oleh sejumlah orang untuk memperbutkan hadiah. Akhir-akhir ini sebutan “sayembara” lebih jarang dipakai daripada kata “lomba atau perlombaan”. Istilah lain yang disinonimartikan dengannya adalah “festival, kejuaraan, pertandingan, kontes” atau juga “kongkros’.
Dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan terdapat kata yang amat dekat dengan itu, yaitu “swayambara” — diserap dari bahasa Sanakreta, yang secara harafiah berarti : pilihan sendiri, atau pemilihan suami oleh seorang putri dalam suatu pertemuan umum para peminang (Zoetmulder, 1995: 1172). Swayambara adalah suatu pesta, seperti tergambar dalam kata “kaswayambaran”, yang menunjuk pada pesta swayambara. Istilah ini telah kedapatan di dalam kitab Udyogaparwa (78, 141, dan 144), kakawin Ramayana (2.49), serta Sumanasantaka (15.9, 23.2 dan 5). Tempat untuk penyelenggaraan swayambara dinamai “swayambarasabha’ , dimana penulisannya acap didahukui oleh kata “ring (di)”, seperti tergambar dalam kalimat “byaktanaku mamenanga ring swayambarasabha (Sumanasantaka l 23.5)”.
Dalam swayambara, yang dipentingkan adalah pemberian hak atau kesempatan dari seseorang terhadap orang lain. Misalnya, dari orang tua kepada anak perempuannya untuk menentukan pilihan sendiri calon suaminya. Unsur sebutan “swaya” atau “swa” menunjuk pada kemandirian atau otonomitas seseorang dalam menentukan pilihannya — termasuk otonomitas perempuan dalam memilih dan menentukan calin suaminya. Oleh karena itu, tidaklah mutlak bahwa dahulu colon suami bagi anak perempuan ditentukan sepenuhnya oleh orang tua dengan model “kawin paksa” atau “perjodohan paksa”. Memang, ada kalanya dilakulan penjofohan paksa, sehingga sang putri memilih untuk “kawin lari” dengan kekasih, seperti tergambar di dalam kakawin Kresnayana, Gatotkacasraya maupun kidung Panji Margasmara.
Justru, konon pada kalangan bangsawan dalam masa Hindu-Buddha ada pemberian kesempatan kepada seorang putri untuk memilih-menentukan sendiri suaminya, sebagaimana dikisahkan oleh sejumlah susastra lama. Ayah seorang wanita bangsawan, yakni raja di suatu kerajaan adakan swayambara untuk anak perempuannya jelang pernikahannya, sepwrti tergambar pada kalimat “bangku gumayawaken kaswayambarangku (ayahku membuatkan sayembara untukku)”. Dalam perhektan ini, para ksatria dari berbagai negeri datang dan turut serta sebagai peminang untuk turun berlaga di dlam suatu pertandingan untuk memperebutkan sang putri raja.
Bentuk kegiatan sayembara (sayemboro) dan swayambara memiliki kemripan, yaitu berupa lomba, uji atau adu ketangkasan, ketrampilan ataupun kepiawian dari sejumlah orang. Namun, dalam konteks swayambara yang pokok adalah pemberian tentukan piluhannya sebdiri. Adapun lomba, adu, uji atau kontestasi hanyalah ikhtiar, cara (metode, teknik) dan instrumen di dalam kerangka “penentukan pillihan secara mandiri (otonom)” Adapun pada sayembara, penekanan makna adalah pada lombanya, yang berarti lebih bersifat instrumentalis. Swayambara dengan demikian merupakan jamiman bagi perempuan untuk menentukan pilihan sendiri dalan hal calon suaminya.
B. Aneka Kisah Kuno tentang Swayambara
Dalam susastra tekstual, visusal ataupun oral, kisah-kisa lama mengenai swayambara cukup banyak didapati. Hal ini memberi kita petunjuk bahwa konon pernikahan untuk seorang putri raja, yang didahului dengan penyelenggaraan swayambara, merupakan “model pra-pernikahan” di kalangan bangsawan. Pada kesempatan itu, sang putri secara langsung melihat, menimbang dan akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada salah seorang pria yang tampil sebagai “sang juara atau pemenang lomba” untuk mendapatkan dirinya. Ketangguhan, kehandalan, ketangkasan, ketrampilan, kepiawian, ataupun kesaktian lebih darinya dibanding para peserta swayambara lain adalah parameter pilihan sang putri bagi calon suaminya. Bagi para peserta swayambara, upaya total untuk dapat tampil sebagai pemenang, tak sekedar prasyarat guna mendapatkan sang putri, namun lebih dari itu sebagai pembukti superlatif, adu gengsi, adu unggul, dan kejayaan negerinya.
Swayambara merupakan pemberian kesempatan oleh seorang ayah kepada putrinya yang tengah memasuki fase berkeluarga (greahastasrama), yakni untuk mendapatkan “pria terpilih” sebagai calon suaminya. Menentukan suami tidak seperti “beli kucing dalam karung” , namun suatu pilihan bijak-tepat diserrtai dengan bukti empiris. Dalam hal ini, swayambara adalah suatu media uji, atau semacam “feed and proper test” pada masa kini dalam bentuk seleksi untuk mendapatkan pilihan tepat. Ketika swayabara berlangsung, sang putri srbagai penseleksi menyaksikan sendiri secara langsung alternasi-alternasi pilihannya tatkala berlaga dalam suatu lomba. Pada sisi lain, para peserta swayambara dapat seara fair mengukur kemampuan dirinya dibanding para paserta lain.
Wiracarita Ramayana mengkisahkan bahwa Sru Rama dari kerajaan Kosala tampil sebagai “sang juara” dalam lomba “merentang busur panah (gandewo) pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa” di istana Mithila (kadatwan Wideha) yang diperintah oleh raja Janaka sebagai ayah angkat Sita. Atas kemenangannya itu, Rama terpilih sebagai suami Sita. Swayambara sebagai media uji untuk mendapatkan putri juga terkisah dalam wiracarita Mahabharata, yaitu swayembara guna mendapatkan Dewi Draupadi (Dropadi, Drupadi), yakni puteri Drupada, raja pada kerajaan Pancala
Swayambara mendapatkan Draupadi dikisahkan secara unik dalam kitab Mahabharata. Kesertaan ksatria Pandawa dalam swayambhara itu terjadi ketika mereka mengunjungi Pancala dengan menyamar sebagai Brahmana. Swayambara diikuti para kesatria terkemuka dari penjuru Bharatawarsha (India Kuno), temasuk Karna dan Salya. Karna berhasil memanah tepat sasaran, namun Draupadi menolaknya, dengan alasan ia tak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan sangat kesal. Kemudian Arjuna tampil dan panahnya mengenai sasaran dengan tepat. Sesuai dengan ketentuan, Arjuna berhak mendapatkan Dropadi. Namun peserta lain menggerutu, karena pemenangnya adalah seorang brahmana, karena peserta swayambara memginginkan swayambara hanya diikuti oleh ksatria, sehingga terjadi keributan. Arjuna dan Bhima bertarung menghadapi ksatria peserta swayambara, sedangkan Yudistira, Sakula dan Sahadewa pulang untuk menjaga Kunti. Kresna yang turut hadir dalam swayambara itu tahu siapa sebenarnya para brahmana tetsebut, dan mengatakan kepada peserta bahwa brahmana pemenang lomba lah yang berhak mebdapatkan Dropadi.
Setelah keributan usai, Arjuna dan Bhima pulang dengan membawa Dropadi. Arjuna dan Bhima menghadap dan mengatakan kepada ibu Kunti bahwa mereka membawa hasil meminta-minta (sesuai akitifitas Brahmana). Kunti menyuruh bagi rata apa yang mereka peroleh. Namun, ia terkejut ketika tahu bahwa yang diperoleh bukan hanya hasil minta-minta melainkan juga seorang wanita. Kunti tak mau berdusta, maka Dropadi pun menjadi istri dari Panca Pandawa.
Kitab Mahabharatta juga mengkisahkan tentang swayembara di Kerajaan Giyantipura, yang diikuti oleh Bhisma (Dewabrata). Bhisma turut bukan untuk dirinya, melainkan buat adik tirinya, yaitu Wichitrawirya — putra Santanu dan Satyawati, yang kala itu belum nikah. Acara dilaksanakan oleh raja Darmahumbara untuk mencari calon suami bagi Amba, Ambika maupun Ambalika. Swayambara berupa perang tanding antara putra-putra bangsawan atau para pangeran. Pemenangnya dianggap pantas mendapatkan ketiga putrinya. Peserta datang dari berbagai kerajaan di Hindustan dan sekitarnya. Mereka cemas dan takut menanggung malu jika gagal, terkebih lagi ketika melihat Bhisma turut hadir. Bhisma dikenal sangat sakti dan pandai gunakan segala macam senjata. Selain itu, kesetiaan dan keteguhan hatinya membuat semua orang segan kepadanya Semula banyak yang sangka bahwa Bhisma datang untuk menyaksikan swayanbara, karena semua tahu bahwa Bhisma bersumpah tidak akan pernah menikah. Padahal, Bhisma ikut demi adik tiriya. Ketiga putri Darmahumbara yang memilih calon suami itu sama sekali tidak hiraukan kehadiran Bhisma, pemuda tua yang tidak menarik. Bhisma yang merasa diejek dan dipermainkan menjadi berang. Para ksatria yang hadir ditantangnya.