oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban yang sangat dianjurkan bagi seorang muslim sebagai wujud pemenuhan tanggung jawab utama dan maksud penciptaan manusia. Semenjak awal penciptaan manusia telah dikaruniakan kemampuan mengenali nama-nama, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 31. Artinya bahwa kemuliaan manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah lainnya adalah kemampuan akal pikiran dan ilmu yang telah diberikan oleh Allah swt atasnya. Karena itulah Allah swt juga memuliakan manusia atas dasar ini. Sebagaimana di sebutkan dalam teks sumber wahyu :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah, Ayat 11).
Serta sabda nabi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:لَا يُقِيْمَنَّ أَحَدُكُمْ رَجُلًا مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ , وَلَكِنْ تَوَسَّعُوْا وَتَفَسَّحُوْا وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ اِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيْهِ (متفق عليه)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,’ janganlah seseorang mengusir temanya dari tempat duduk, kemudian ia duduk padanya, hendaknya kamu memperluas ( merenggangkan ) untuk memberi tempat. Adalah ibnu umar dalam mempraktekkan ini, jika seseorang bangun dari majelis tidak suka duduk pada tempat orang itu (Muttafaqun ‘alaih)”.
Ayat tersebut diatas memberikan sebuah pesan bahwa pendekatan profetik sangat memberikan perhatian terhadap proses keilmuan dalam dunia pendidikan. Secara eksplisit di jelaskan bahwa seseorang yang sedang menuntut ilmu dianjurkan untuk memberikan ruang kemudahan bagi para penuntut ilmu lainnya. Perintah “tafassahuu fil majaalis” atau memberikan kelapangan dalam majelis adalah sebuah perintah agar seseorang memberikan kesediaan hati dan berlapang hati kepada para penuntut ilmu agar mereka merasa nyaman selama proses menuntut ilmu. Sekalipun menuntut ilmu adalah suasana yang keluar dari zona nyaman bagi para pelakunya (pelajar, thalibul ilmi) yaitu selayaknya mereka berada dalam keadaan prihatin selama menuntut ilmu, namun bagi orang lainnya dianjurkan memiliki kepedulian yang tinggi atas mereka untuk memberikan fasilitasi yang nyaman dan penuh kemudahan selama mereka menjalani proses pembelajaran.
Dua konsep yang penuh keadilan, yaitu keprihatinan yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu dan kepedulian serta perhatian dari para pemerhati (kaum muslimin lainnya). Tafassahuu fil majalis memberikan inspirasi atas pentingnya nilai kepedulian dengan cara memberi kemudahan kepada para penuntut ilmu. Kepedulian dan perhatian dimaksudkan agar para penuntut ilmu merasa nyaman atas kesediaan dirinya saat keluar dari zona ketidaknyamanan yang telah dilakukannya sehingga memotivasi mereka untuk terus bersemangat mendalami ilmu sebagai modal dasar dalam membangun peradaban dan perubahan kebaikan bagi masyarakat.
Kepedulian dan perhatian yang dapat diberikan kepada para penuntut ilmu bisa dalam bentuk memberikannya beasiswa, biaya studi, memberikan biaya hidup, menyediakan tempat tinggal gratis bagi para pelajar yang mereka sedang menempuh jalan Allah (fii sabilillah), memberikan pendidikan gratis bagi para penuntut ilmu atau pula memberikan fasilitasi tempat belajar yang nyaman selama mereka menuntut ilmu.
Apabila kita buka lembaran sejarah atas keteladanan Rasulullah yang sangat peduli dan memberikan perhatian kepada para ahli suffah, yaitu para sahabat nabi yang tinggal bersama di masjid nabi untuk belajar yang sepenuhnya mereka ditanggung oleh Rasulullah baik fasilitasi tempat tinggalnya yaitu di masjid. Rasulullah juga memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sebagaimana dalam catatan sejarah bahwa masjid Rasulullah saat itu berfungsi sebagai asrama para ahlu suffah yang belajar dan mendalami ilmu kepada Rasulullah hingga mampu menampung 300-400 orang sahabat. Masjid pada masa nabi benar-benar mampu menjadi center of activity dari seluruh aktifitas kehidupan, termasuk menampung para ahli ilmu untuk belajar serta sepenuhnya ditanggung oleh Rasulullah.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah membagi-bagi orang miskin di antara para shahabatnya untuk diberi makan. Ibnu Sirin mengatakan: “Jika sore hari tiba, Rasulullah membagi-bagi Ahlus Shuffah kepada di antara para shahabat. Sehingga seorang shahabat bersama seorang yang lain, seorang shahabat lainnya mengajak dua orang juga yang mengajak tiga orang, dan seterusnya sampai sepuluh orang.” Al-Hasan mengatakan: “Dan Rasulullah mengajak yang tersisa diantara mereka ke rumah beliau serta memberi mereka apa pun makanan yang beliau punyai.
Ya’isy bin Thakhfah Al-Ghifari s mengatakan:
“Ayahku adalah salah seorang Ahlus Shuffah, dan Rasulullah memerintahkan agar mereka diurus. Maka, seseorang akan mengurus satu atau dua orang, hingga aku yang tersisa bersama empat orang yang lain. Rasulullah mengatakan, ‘Mari kita pergi. Kami pun pergi bersama beliau ke rumah Aisyah , kemudian beliau mengatakan, Wahai Aisyah, beri kami makan.’ Aisyah membawa beberapa Hasyisyah (yakni sejenis makanan yang terbuat dari gandum giling kasar yang dimasak dan ditambahi daging atau kurma) dan kami memakannya. Lalu dia membawa beberapa Haysah (yaitu makanan terbuat dari kurma, tepung halus, keju dan lemak) dan kami yang memakannya.
Kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Aisyah, beri kami sesuatu yang bisa diminum. Dia membawa sebuah cangkir besar dan kami pun minum, lalu dia membawa secangkir kecil susu dan kami meminumnya lagi. Kemudian Rasulullah melanjukan, ‘Jika kalian ingin menginap, silakan, dan jika kalian mau, kalian bisa kembali ke masjid.” Kami pun menjawab, ‘Kami pulang ke masjid saja’.” (HR. Abu Dawud. no. 5040. dan Ibnu Majah no. 752).
Demikian pula apabila kita cermati bahwa masjid-masjid pada masa kekhilafahan abbasiyah, umayyah maupun hingga turky utsmany juga demikian. Masjid-masjid tidak hanya dijadikam sebagai tempat ritual shalat namun sekaligus sebagai tempat menampung para pembelajar (thalibul ilmi) untuk mengkaji berbagai macam fan ilmu. Sehingga lahir dari mereka kalangan ahli ilmu yang kelak akan menyebarkan ilmu keseluruh penjuru muka bumi.
Bahkan apabila kita cermati dari kebiasaan para ulama dapat kita temukan mereka rela memberikan ilmunya dengan mengajar sepenuh waktu bahkan pula mereka rela menyediakan rumah tempat tinggal kepada para muridnya bahkan memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya terdapatlah dalam sejarah seorang ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Prof. Dr. Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-maliki menyediakan tempat di rumahnya rushaifah Makkah al-mukaromah, untuk menampung para pembelajar dari berbagai negara termasuk Indonesia, serta memberikan biaya hidup bahkan kebutuhan kitab-kitab ditanggung semuanya oleh beliau, selain pula memberikan ilmu kepada para tholibul Ilm. Tercatat pula Al Habib Umar bin Hafidz Yaman yang juga melakukan hal demikian, serta masih banyak lagi para ulama yang bersedia memberikan ilmunya sekaligus memberikan kemudahan fasilitasi kepada para penuntut ilmu.
Pemahaman profetik akan kepedulian terhadap dunia pendidikan tidaklah diragukan lagi. hal ini disebabkan suatu pemahaman dasar yang bersumber dari teks teks sumber wahyu yang menempatkan para pembelajar dalam kedudukan yang sangat mulia. Hal ini mendasarkan pada Sabda Rasulullah :
مَن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه عِلْمًا، سلَك اللهُ به طريقًا مِن طُرُقِ الجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga” (HR. At Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641)
Turut membantu dan peduli pada para penuntut ilmu adalah sama pahalanya dengan orang yang sedang menuntut ilmu. Sebab siapapun yang menjadi jalan kebaikan mana dia akan mendapatkan kebaikan pula sebagaimana pelaku kebaikan. Kepedulian dan perhatian atas para pelajar (thalabul ilmi) adalah salah satu wujud dari nilai-nilai penting komunikasi profetik dalam bidang pendidikan.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB