Kanal24, Malang – Kesetaraan gender bukanlah warisan yang bisa diterima begitu saja. Ia adalah perjuangan panjang, penuh liku, dan sering kali menghadapi tembok adat yang kokoh. Di Indonesia, jejak perjuangan itu salah satunya diabadikan dalam surat-surat seorang perempuan Jawa yang melampaui zamannya: Raden Ajeng Kartini. Meski Kartini telah tiada lebih dari seabad lalu, gagasannya tentang emansipasi perempuan tetap relevan hingga kini, terutama dalam mendorong generasi muda memahami pentingnya kesetaraan gender.
Dengan semangat itu, Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (UPT PKM) Universitas Brawijaya (UB) menggelar bedah buku “Trilogi Kartini” karya Prof. Dr-Ing. Wardiman Djojonegoro, pada Senin (19/5/2025). Bertempat di Ruang Pertemuan 1, UPT Perpustakaan UB, acara ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan pemikiran Kartini dalam konteks modern.

Mengangkat Kartini ke Panggung Diskusi
Buku “Trilogi Kartini” merupakan karya monumental yang menghimpun 184 surat asli Kartini dalam tiga jilid. Penulisnya, Prof. Wardiman Djojonegoro, adalah seorang akademisi yang mendedikasikan waktu dan pemikirannya untuk mendokumentasikan kisah hidup dan gagasan Kartini secara lengkap. Dalam paparannya, ia mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok Kartini.
“Yang pertama, saya kagum, kedua menghormat, dan ketiga, karena surat-suratnya ada sehingga mudah dikumpulkan dan diterjemahkan. Namun, yang paling penting adalah nomor empat: Kartini menjadi inspirasi besar bagi kesetaraan gender di Indonesia,” ungkap Prof. Wardiman di hadapan para peserta diskusi.
Meski demikian, ia tak menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi dalam menyebarluaskan pemikiran Kartini. “Buku ini tebal dan harganya mahal, sehingga peminatnya tidak banyak. Karena itu, seminar seperti ini menjadi cara untuk menjangkau lebih banyak orang,” jelasnya.
Kartini, lanjut Prof. Wardiman, adalah perempuan yang tak hanya bermimpi, tetapi juga berstrategi. Dengan fasih berbahasa Belanda, ia menggunakan kekuatan sastra untuk meyakinkan kaum kolonial tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan Jawa. “Yang menarik, Kartini tidak melawan adat, tetapi mencari cara untuk membantu perempuan melalui pendidikan kejuruan. Ini adalah pendekatan unik yang relevan hingga saat ini,” tambahnya.

Refleksi Kesetaraan di Era Modern
Dr. Prisca Kiki Wulandari, M.Pd., M.Sc., seorang akademisi dan pengulas buku, memberikan perspektif lain dalam diskusi. Ia memuji buku ini sebagai karya yang tidak hanya mendokumentasikan sejarah, tetapi juga memberikan konteks yang relevan untuk masa kini.
“Jilid pertama memuat surat-surat Kartini, jilid kedua adalah biografi yang ditulis oleh Siti Sumandari Suroto, dan jilid ketiga membahas inspirasi Kartini terkait kesetaraan gender. Buku ini memberikan gambaran utuh tentang sosok Kartini,” paparnya.
Dr. Prisca menyoroti bahwa perjuangan kesetaraan gender telah mengalami kemajuan, meski masih jauh dari sempurna. “Saat ini, pemerintah telah memberikan kuota 30% perempuan di parlemen, tetapi realisasinya baru sekitar 20%. Sementara di bidang teknologi, perempuan memiliki peluang yang sama, terutama dalam mempelajari teknologi terbaru seperti artificial intelligence (AI). Semangat Kartini adalah pengingat bahwa pendidikan adalah jalan utama menuju pemberdayaan perempuan,” tuturnya.

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Ketua UPT PKM UB, Dr. Mohamad Anas, M.Phil., menegaskan bahwa acara ini memiliki tujuan strategis untuk membangun kesadaran di kalangan mahasiswa, terutama dalam memahami nilai-nilai inklusi sosial.
“Kesetaraan gender bukanlah sesuatu yang sifatnya given, tetapi harus diperjuangkan. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini agar mahasiswa, khususnya perempuan, dapat menjadi agen perubahan di masyarakat,” ujarnya.
Dr. Anas berharap, diskusi ini dapat memperkuat pemahaman mahasiswa tentang pentingnya emansipasi. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami, tetapi juga berkontribusi aktif dalam isu-isu sosial. Dengan memahami pemikiran Kartini, mereka diharapkan mampu mendorong perubahan pola pikir di masyarakat,” tambahnya.
Diskusi buku “Trilogi Kartini” tidak hanya menjadi momen refleksi, tetapi juga panggilan bagi generasi muda untuk melanjutkan perjuangan. Di tengah tantangan modern, seperti kesenjangan gender di bidang politik dan teknologi, pemikiran Kartini menjadi inspirasi yang tak lekang oleh waktu.
Sebagaimana Kartini pernah bermimpi akan masa depan yang lebih baik bagi perempuan Jawa, kini giliran generasi muda—mahasiswa Universitas Brawijaya—untuk mewujudkan mimpi itu ke dalam tindakan nyata. Emansipasi bukan lagi sekadar cita-cita, tetapi sebuah tanggung jawab bersama.(Din)