KANAL24, Malang – Penyakit demam tifoid atau yang dikenal oleh masyarakat umum dengan penyakit tipes merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi yang dapat menyerang semua umur, terutama anak-anak. Di masyarakat, cara penyembuhan penyakit ini dengan menggunakan antibiotika. Akan tetapi, penggunaan antibiotika ini dinilai belum maksimal dalam upaya penanganan penyakit demam tifoid. Hal inilah yang membuat Prof. Dr. Dra. Sri Winarsih, MSi., Ap tertarik untuk melakukan penelitian untuk mencari cara yang baru penanganan demam tifoid yakni dengan melakukan vaksinasi dan imunodulasi.
Berkat penelitian tersebut, Sri berhasil meraih gelar profesor aktif ke 10 di FK UB, dan ke 180 di Universitas Brawijaya. Hasil penelitiannya ini disampaikannya pada konferensi pers (17/12/2019) di Gedung Senat UB menjelang pengukuhannya menjadi profesor esok hari (18/12/2019).
Penyakit demam tifoid menular melalui makanan dan minuman. Penyakit ini bisa menimbulkan kematian meskipun gejalanya walaupun hanya demam atau sulit BAB, karena bakteri dari usus melalui makanan dan minumam bisa menyebar sampai ke limpa dan hati. Itulah yang membuat parah penyakit ini dan bisa menimbulkan kematian. Di masyarakat, untuk mengatasi penyakit infeksi obatnya adalah antibiotika, tapi yang menjadi masalah saat ini adalah sudah banyak bakteri yang resisten atau kebal terhadap obat antibiotika sehingga menyulitkan para dokter untuk mengatasi penyakit-penyakit infeksi tersebut.
Bakteri bisa kebal terhadap obat atau resisten, karena sekarang di Indonesia banyak kemudahan memperoleh obat tersebut. Padahal, sudah diatur oleh BPOM bahwa tidak boleh menjual secara bebas. Pasien yang mendapatkan antibiotika ini sering kali tidak menyelesaikan jumlah penggunaan antibiotik yang diberikan. Hal ini menyebabkan ada satu sel bakteri yang tidak ikut mati, maka satu sel ini bisa berkembang biak dan menyebabkan resisten terhadap obat yang digunakan. Kekebalan bakteri terhadap obat ini juga bisa ditularkan kepada bakteri lain yang menyebabkan makin meluasnya kekebalan bakteri. Karena sulitnya pengobatan dan timbulnya resistensi, maka produsen yang memproduksi antibiotika juga sudah banyak yang “angkat tangan” karena produksi belum kembali, BEPnya sudah tidak laku lagi.
“Saya berfikir bahwa sebaiknya dilakukan pencegahan saja, yakni dengan cara vaksinasi dan imunomodulasi. Dua prosedur ini prinsipnya adalah meningkatkan kekebalan tubuh dari seseorang supaya tidak terserang penyakit infeksi. Vaksinasi ini berupa vaksin yang akan menimbulkan kekebalan spesifik melawan infeksi atau bakteri penyebab penyakit ini. Untuk mengatasi demam tifoid, vaksinnya dibuat dari bagian atau seluruh bakteri salmonella sebagai penyebabnya. Sedangkan kalau imunomodulasi, menggunakan senyawa yang disebut imunomodulator. Hasilnya adalah kekebalan tubuh secara umum yang bisa melawan semua jenis infeksi. Andai kata dua formula ini dikombinasi maka akan lebih baik didalam mencegah terjadinya infeksi demam tifoid,” jelas Sri.
Lanjutnya, terkait dengan vaksinasi dan imunomodulasi ini Sri sudah melakukan penelitian uji coba pada hewan mencit. Ia menggunakan vaksin bagian dari bakteri Salmonella, yaitu bagian paling luar dari sel bakteri yang bisa memperantarai antara bakteri dengan usus. Bagian perantara ini disebut dengan adesit ADHO36, nama ini merupakan nama yang diberikan sendiri oleh Sri karena ini merupakan penemuan baru.
Bahan untuk imunomodulasi, mengambil dari dinding sel jamur candida albicans yang mengandung senyawa glucan. Kemudian diformulasikan menggunakan pembawa yang namanya iskom dan liposom. Kedua pembawa memang harus digabungkan dengan kandidat vaksin maupun imonomodulator untuk melindungi bahan aktif dirusak oleh enzim di saluran pencernaan.
Hasilnya, menurut Profesor pertama Farmasi FK UB ini ternyata memang bagus sekali, kedua kandidat vaksin adesit ADHO36 maupun imunomodulator glucan dari dinding sel dapat meningkatkan kekebalan tubuh dari individu dalam hal ini hewan uji coba. Semua parameter peningkatan atau respon kekebalan meningkat bagus. Tambahnya, kedua formulasi yang dibuat bisa menghambat menurunkan jumlah bakteri di usus DNA yang juga menghambat penyebaran bakteri ke dalam limpa dan hati.
Partikel ukuran senyawa kandidat vaksin ADHO36 yang digabung dengan iskom maupun liposom ternyata memiliki partikel dengan ukuran nanometer. Didalam ilmu biomokuler, makin kecil partikel yang didapatkan maka semakin bagus efektifitas untuk menimbulkan efek didalam sel manusia.
“Kami sudah memperoleh clone atau sekelompok bakteri lain yang bukan penyebab infeksi tadi yang mengandung gen untuk memproduksi ADHO36 tadi. Karena, untuk isolasi adesit ADHO36 ini prosesnya panjang, jadi kami sudah membuat dan memperoleh clone yang bisa kita gunakan sewaktu-waktu untuk produksi materi adesit ADHO36. Sehingga karena ini masih penelitian dasar terhadap hewan coba, kami berharap bahwa peneliti muda akan bersedia melanjutkan penelitian dasar ini sehingga bisa sampai teraplikasikan kepada masyarakat,”pungkasnya. (meg)