Kanal24 – Musik merupakan salah satu jenis seni yang bertujuan untuk mengekspresikan sesuatu dan menghibur banyak orang. Sehingga memuat musik ataupun nyanyian banyak digemari dan ramai peminat. Namun, dalam islam hukum musik sempat menjadi kontroversi. Beberapa ulama mengatakan bahwa musik hukumnya haram, dan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa musik hukumnya halal atau mubah.
Ustadz Ahmad Ali MD menjelaskan bahwa Adanya perbedaan di kalangan para ulama mengenai musik, nyanyian dan seni merupakan persoalan ijtihâdiyah yaitu permasalahan dalam ranah ijtihad (fî majâl al-ijtihâd), dalam artian tidak kaku atau jumȗd, melainkan terbuka akan penafsiran atau interpretasi. Hal ini dikarenakan tidak ada nas nas yang secara pasti dan jelas melarang musik, nyanyian dan seni.
Mengapa muncul adanya hukum larangan bermusik?
Dijelaskan dalam artikel yang ditulis oleh Ustadz Ahmad Ali MD, munculnya hukum larangan bermusik disebabkan oleh dua faktor. Yang pertama adalah faktor eksternal yaitu adanya suatu kemungkaran yang membarengi musik, nyanyian ataupun seni.
Faktor kedua adalah adanya instrumen musik yang dilarang karena suatu alat musik tersebut identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan imam Al-Ghazali:
وكل ذلك جائز ما لم يدخل فيه المزامير والأوتار التي من شعار الأشرار
Artinya: “Semua alat musik itu boleh kecuali seruling dan gitar, karena bagian dari syiar orang-orang yang buruk.” (Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, juz II, halaman 273-274).
pernyataan tersebut kemudian dijelaskan kembali pada kitab Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn pada juz 2 halaman 270 yang berbunyi:
ويهذه العلة يحرم ضرب الكوبة وهو طبل مستطيل دقيق الوسط واسع الطرفين وضربها عادة المخنثين، ولولا ما فيه من التشبه لكان مثل طبل الحجيج والغزو
Artinya: “Dengan alasan ini pula haram menabuh gendang atau drum, yaitu sejenis alat musik tabuh panjang yang memiliki lobang di tengah, dan lebar kedua sisinya. Menabuh gendang ini adalah kebiasaan waria. Andaikan tidak ada kesamaan dengan kebiasaan waria maka boleh, seperti gendang haji dan perang.” (Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, Juz 2, halaman 270).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa datangnya larangan penggunaan alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar) ada yang didasarkan pada hadist, serta ada pula yang larangan yang timbul karena melihat faktor alasannya, yaitu karena alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar) identik dengan musik para pezina, pemabuk dan sebagainya. Sehingga, dalam hukum fiqih apabila faktor alasannya hilang, maka hukumnya juga dapat berubah (al-hukmu yadȗru ma‘a ‘illatihi wujȗdan wa‘adaman).
Apakah hukum musik berubah menjadi mubah?
Berbeda dengan masa lalu saat musik diidentikkan dengan seorang yang melakukan kemungkaran, saat ini alat-alat musik tidak lagi diidentikkan dengan kemungkaran, justru musik banyak digunakan untuk mengiringi nyanyian yang bernuansa dakwah.
Maka dari itu, lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan:
فهذه المقاييس والنصوص تدل على إباحة الغناء والرقص والضرب بالدف واللعب بالدرق والحراب والنظر إلى رقص الحبسة والزنوج في أوقات السرور كلها قياسا على يوم العيد فإنه وقت سرور، وفي معناه يوم العرس والوليمة والعقيقة والختان ويوم القدوم من السفر وسائر أسباب الفرح وهو كل ما يجوز به الفرح شرعا، ويجوز الفرح بزيارة الإخوان ولقائهم واجتماعهم في موضع واحد على طعام أو كلام.
Artinya: “Berdasarkan dalil qiyas dan dalil nash menunjukkan diperbolehkan nyanyian, menggerakkan tubuh atau koreografi (dengan catatan tidak memicu atau menimbulkan syahwat), menabuh terbang, mainan perang-perangan, melihat gerakan tubuh orang habasyah (kulit hitam), di waktu bahagia yaitu hari raya, pernikahan, walimah, aqiqah, khitan, kedatangan tamu dan bentuk kebahagiaan yang lain. Yaitu hal yang diperbolehkan dalam syariat maka boleh untuk bersenang-senang, mengunjungi saudara, bertemu dengan kawan, berkumpul dalam satu tempat untuk makan-makan atau berdiskusi.” (Al-Ghazali: II/276).
Berdasarkan penejelasan tersebut dapat dipahami bahwa pendapat yang menyatakan musik, nyanyian dan seni adalah mubah, lebih relevan pada saat ini untuk dijadikan sebagai panduan. Hal ini juga selaras dengan fitrah kemanusiaan yang menyukai keindahan yang sifatnya dinamis.
Walaupun demikian dibolehkannya musik bukan berarti membolehkan secara mutlak tanpa ada batasan. Hukumnya dapat menjadi haram apabila musik digunakan untuk menyertai kemungkaran, sengaja merangsang birahi serta menyamarkan kemaksiatan. (rra)