Koperasi selain sebagai institusi ekonomi, sekaligus mengemban sebagai lembaga pendidikan (Amidipradja, 1985). Sebagai lembaga pendidikan, koperasi bertugas “mengenyahkan” kebodohan. Menjauhkan anggota dari kebodohan atas pengetahuan dan praktik bisnis ekonomi, sosial, politik dan budaya. Koperasi bukanlah institusi berjargon “business is usual” namun dalam koperasi “business is unusual”.
Dalam mengemban tugas sebagai lembaga pendidikan, koperasi mesti bertanggung jawab atas terbentuknya kesadaran kritis anggota terhadap tata nilai koperasi self-help, democracy, equality, equity and solidarity. Nilai-nilai tersebut tidak boleh dibendakan sebagai jargon semata, namun diimplementasikan sebagai kultur ber-koperasi. Demikian pula mengenai solidaritas dan individualitas sebagai soko guru koperasi serta gotong-royong dan kekeluargaan sebagai asas koperasi. Kesadaran kritis mesti terbentuk dan terwujud dalam tata perilaku dan budaya ber-koperasi.
Pengalaman Koperasi Mondragon dalam membentuk kultur ber-koperasi, patut untuk dicontoh. Pendidikan tentang prinsip, nilai dan budaya ber-koperasi bagi calon-calon anggota koperasi dilakukan secara berjenjang dan sistematis. Anggota koperasi dibekali dengan kesadaran kritis tentang koperasi dan sekaligus budaya ber-koperasi. Setelah itu, pendidikan berlanjut mengenai pendidikan bisnis dan menajerial. Sehingga anggota Koperasi Mondragon mendapat bekal pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran kritis ber-koperasi.
Sehingga, koperasi yang masih berorientasi semata sebagai institusi ekonomi dan sibuk bekerja untuk mengakumulasi kekayaan ekonomis tanpa mengindahkan fungsi-fungsi pendidikan yang mesti diemban, merupakan wujud konkrit dari tergelincirnya koperasi dari bentuk idealistik koperasi yang sesungguhnya. Kondisi seperti ini yang perlu segera ditelisik secara mendalam agar koperasi Indonesia tidak terbenam terlampaui dalam. Langkah-langkah konkrit perlu disegerakan.
Maka, koperasi perlu segera disadarkan bahwa mereka tidaklah semata institusi ekonomi, namun sekaligus sebagai institusi sosial, politik dan pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang menihilkan koperasi dari peran sosial, politik dan pendidikan perlu ditelaah untuk dirubah. Pendidikan yang deliberatif untuk membentuk kesadaran kritis dan kultur ber-koperasi yang sesuai dengan nilai, soko guru dan asas koperasi perlu segera dirumuskan dan diimplementasi. Berderat contoh baik yang layak ditiru dari koperasi yang telah menjalankan “kebaikan-kebaikan” ini. Mari kita lakukan !
SUBAGYO
Dosen FE Universitas Negeri Malang