Kanal24, Malang – Dalam sebuah kesempatan terdapat suatu dialog antara seorang wartawan dengan seorang profesor. Sang wartawan bertanya, “Prof, apa pendapat anda atas pernyataan beberapa kalangan yang mengatakan bahwa urusan persoalan penetapan hukum di persidangan itu berdampak akhirat..?”. Sang profesor yang terkenal pandai itu menjawab dengan enteng, “sudahlah urusan ketetapan persidangan tak perlu sampai hari akhirat”.
Secara sepintas kalimat sang profesor ada benarnya, namun apabila di cermati lebih teliti dari aspek logika spiritual maka hal ini memiliki kesalahan logika yang bisa berakibat fatal. Ada dua kemungkinan logika sang profesor. Logika pertama bahwa urusan ketetapan persidangan bisa diputuskan saat ini di dunia, tidak perlu berlama-lama. Hal ini terkait dengan masa waktu proses penyelesaian persidangan. Logika kedua, bahwa urusan ketetapan hasil persidangan tidak ada urusan dengan akhirat sehingga tidak perlu sampai dibawa ke akhirat. Logika ini terkait dengan hubungan antara proses persidangan di dunia dan konsekwensinya kelak di akhirat. Pada logika pertama mungkin masih bisa dipahami, namun pada logika yang kedua terdapat masalah berpikir yang sangat serius.
Secara sederhana terdapat tiga kelompok manusia dalam memahami hubungan antara realitas kehidupan dunia dengan akhirat. Pertama mereka yang meyakini bahwa dunia adalah realitas final dan
mereka tidak percaya adanya akhirat. Mereka bersedia melakukan apapun saja berbagai keburukan tanpa konsekwensi apapun sehingga mereka rela menghalalkan segala cara dalam mewujudkan kepentingan dirinya. Mereka ini diwakili oleh kalangan atheis, komunis.
Kedua adalah kalangan yang percaya akan adanya akhirat namun tidak ada hubungan apapun dengan urusan dunia. Mereka berkeyakinan bahwa kedua merupakan realitas terpisah, perilaku dunia sendiri dan akhirat sendiri. Mereka memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat (fashlud diin anil hayah). Tindakan di dunia dapat diselesaikan di dunia tanpa konsekwensi akhirat bahkan menganggap bahwa urusan dunia tidak ada hubungan sama sekali dengan akhirat sehingga tidak perlu membawa-bawa urusan dunia dengan akhirat.
Cara menyelesaikannya adalah cukup melalui transaksi kemanusiaan, bisa melalui pengampunan dosa atau cukup minta maaf ataupun selama telah diselesaikan oleh mekanisme kemanusiaan maka selesailah urusan. Kelompok ini diwakili oleh kalangan hedonis, para pecinta dan pemuja dunia. Bagi mereka kenikmatan dunia adalah alasan utama, yang penting mereka mendapatkan sejumlah kesenangan dunia, baik berupa harta atau jabatan dsb, sekalipun harus melalui dengan jalan yang curang asal tujuan tercapai, sehingga mereka rela menyelewengkan kebenaran.
Ketiga, adalah kelompok yang meyakini bahwa segala tindakan yang dilakukannya di dunia terkait dan berhubungan dengan akhirat. Akhirat diyakini sebagai tempat pertanggungjawaban setiap amal perbuatan dan tindakan sekecil apapun. Diakhirat manusia mendapatkan balasan atas sikap tindakan dan perbuatannya seremeh dan sekecil apapun tanpa terkecuali. Kelompok ini diwakili oleh orang-orang yang beriman (almukminuun) yang benar keimanannya. Mereka berpegang teguh pada Firman Allah :
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Az-Zalzalah : 7-8)
Karena mereka memiliki keyakinan akan adanya hari pembalasan maka mereka berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Sekalipun keinginan mereka besar atas sebuah kenikmatan dunia namun hal itu semata untuk meraih kenikmatan akhirat sehingga langkah-langkah dalam mewujudkan cita-cita, harapan dan keinginannya dilakukan dengan cara yang baik dan benar, bersih dan menjauhi dari tindakan-tindakan yang dapat menodai niat kebaikan. Mereka percaya bahwa tujuan yang baik haruslah dicapai dengan cara yang baik pula. Mereka juga berkeyakinan bahwa urusan mereka adalah berusaha sebaik mungkin, sementara hasil adalah hak prerogatif Tuhan. Tuhan tidak mensyaratkan hasil, namun menilai langkah usaha.
Kelompok yang pertama tidak percaya akhirat sehingga mereka rela melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan nilai kebaikan karena mereka tidak memiliki standar nilai kebaikan. Kebaikan baginya manakala tujuan diri dan kelompoknya tercapai walaupun harus melakukan kecurangan dan bahkan dengan cara membunuh sekalipun.
Kelompok yang kedua, standart kebaikan bagi mereka adalah apabila kesenangan dan kepentingannya tercapai sekalipun harus menyeleweng dan mengkhianati nilai-nilai kebenaran dan idealisme. Yang terpenting bagi mereka mendapatkan kekuasaan dan kenikmatan dunia.
Sementara kelompok yang ketiga adalah kelompok yang berdiri diatas idealisme nilai kebaikan dan tidak bersedia mengkhianatinya sekalipun dalam realitas kelompok ini cenderung dianggap lugu dan polos. Sehingga dalam berbagai pertarungan kompetisi seringkali dikalahkan dan dipercundangi dengan berbagai kecurangan. Namun idealisme telah mengarahkan langkahnya, dengan sebuah keyakinan bahwa “Biarlah kalah asal tak salah di hadapan Allah”.
Namun demikianlah sebuah konsekwensi dari sebuah keyakinan bahwa tidak ada satupun atas apapun tindakan yang dilakukan oleh seseorang kecuali pasti kelak akan dimintai pertanggungjawaban dan siapapun tak bisa mengelak dari-Nya. Berbahagialah bagi mereka yang berada di jalan kebenaran karena Allah akan membalas setiap usahanya, Allah mboten sare, Allah tidak tidur. Dan rugilah bagi mereka yang melakukan kecurangan karena catatan Allah sangatlah teliti yang setiap kita tidak bisa mengelaknya.
Semoga Allah swt memasukkan kita dalam golongan yang istiqomah dalam kebenaran dan dijauhkan dari sifat kemunafikan. Semoga Allah meridhoi setiap langkah dalam menegakkan kebenaran dan dikumpulkan kelak dalam golongan orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. Aamiiin…