KANAL24, Malang – Bulan Dzulhijjah disebut sebagai salah satu bulan yang dimuliakan Allah SWT. Di dalamnya terdapat kewajiban haji bagi yang mampu menunaikannya, sementara orang yang tidak mampu dianjurkan memperbanyak amalan sunnah lainnya, seperti sedakah, shalat, dan puasa.
Oleh karenanya, kesempatan beribadah tidak hanya diberikan kepada jamaah haji, namun siapapun diberikan kesempatan beramal meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Anjuran memperbanyak amal shaleh tersebut termaktub dalam beberapa hadis. Misalnya hadis riwayat Ibnu ‘Abbas yang ada di dalam Sunan al-Tirmidzi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر
“Rasulullah SAW berkata: Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini” (HR: al-Tirmidzi)
Hadis di atas menunjukan beramal apapun di sepuluh hari pertama Zulhijjah sangat dianjurkan. Namun kebanyakan ulama menggunakan hadis di atas sebagai dalil anjuran puasa sembilan hari pada awal Zulhijjah. Hal ini terlihat dalam pembuatan judul bab hadis tersebut. Ibnu Majah misalnya, memberi judul bab hadis di atas dengan “shiyamul al-‘asyr (puasa sepuluh hari)”.
Dalam kajian hadis, pemberian judul bab sekaligus menunjukan pemahaman seorang rawi terhadap hadis yang diriwayatkan. Artinya, secara tidak langsung Ibnu Majah selaku perawi hadis, menjadikan hadis itu sebagai dalil kesunnahan puasa. Oleh karenanya, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:
واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل
“Hadis ini menjadi dalil keutaman puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, karena puasa termasuk amal shaleh”
Kendati disebutkan puasa sepuluh hari dalam hadis di atas, ini bukan berati pada tanggal 10 Dzulhijjah juga dianjurkan puasa. Malah puasa pada tanggal itu dilarang karena bertepatan dengan ‘idul adha. Terkait maksud “ayyamul ‘asyr” ini, al-Nawawi, sebagaimana dikutip al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, menjelaskan:
والمراد بالعشر ها هنا الأيام التسعة من أول ذي الحجة
“Yang dimaksud sepuluh hari di sini ialah sembilan hari, terhitung dari tanggal satu Dzulhijjah”
Berdasarkan pendapat al-Nawawi ini, disunnahkan bagi siapapun untuk beramal sebanyak-banyaknya di bulan Dzulhijjah, khususnya puasa 9 hari di awal bulan. Dalam hadis lain, saking penasarannya sahabat tentang keutamaan beramal sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, mereka bertanya kepada Rasul SAW, “Apakah jihad juga tidak sebanding dengan beramal pada sepuluh hari tersebut? Rasul menjawab, “Tidak, kecuali ia mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah (mati syahid)” (HR: Ibnu Majah)
Dengan demikian, Rasul menyetarakan pahala beramal di sepuluh hari Zulhijjah dengan mati syahid. Karena konteks negara kita bukan perperangan, dalam kondisi aman dan damai, tentu memperbanyak amal di bulan Zulhijjah, terutama puasa, lebih diprioritaskan. (sdk)