KANAL24, Jakarta – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan, aturan wajib tentang pemasangan dan pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (Automatic Identification System/AIS) pada seluruh kapal yang berlayar di perairan Indonesia tetap akan diberlakukan mulai 20 Agustus 2019.
Sebelumnya, rencana pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 7 Tahun 2019 tentang pemasangan dan pengaktifan AIS bagi Kapal yang Berlayar di wilayah Perairan Indonesia itu memang banyak menuai pro kontra. Salah satunya adalah Indonesian National Shipowner Association ( INSA ) yang sempat meminta kebijaksanaan Menteri Perhubungan agar menunda pemberlakuan wajib AIS tersebut karena banyak dari anggotanya yang memang belum memasang dan mengaktifkan AIS pada kapal miliknya.
“Jadi nanti ada law enforcement, tak bisa semau-maunya kapal ke mana saja tak jelas. Kita harus bisa monitor seluruh kapal, muat apa saja. Memang perlu sosialisasi lebih, saya sering ditelepon Basarnas ada kapal tenggelam, kita nggak tahu apa, ternyata kapal ikan. Jadi memang kita belum bisa lacak semua,” ujar Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, Agus H Purnomo dalam diskusi bersama Forwahub di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Dirjen Agus menjelaskan, latar belakang perlunya regulasi itu adalah pemerintah ingin ada penegakan hukum yang jelas mengenai keberadaan kapal yang berlayar di wilayah Indonesia. Ia juga ingin menggali beragam informasi melalui kecanggihan AIS, agar aspek keamanan dan keselamatan bisa terjaga.
Sebagai informasi, AIS adalah sistem pemancaran radio Very High Frequency (VHF) yang menyampaikan data-data melalui VHF Data Link (VDL) untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke kapal lain, Stasiun Vessel Traffic Services (VTS), dan/atau stasiun radio pantai ( SROP ).
Ada dua kelas tipe AIS yang yaitu AIS Kelas A dan AIS Kelas B. AIS Kelas A, wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia.
Sedangkan AIS Kelas B juga wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal-kapal berbendera Indonesia dengan ketentuan antara lain, Kapal Penumpang dan Kapal Barang Non Konvensi berukuran paling rendah GT 35, serta Kapal yang berlayar antar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Selain itu, yang wajib memasang dan mengaktifkan AIS Kelas B adalah Kapal Penangkap Ikan yang berukuran paling rendah GT 60. Pengawasan penggunaan AIS dilakukan oleh petugas Stasiun VTS, petugas SROP , pejabat pemeriksa keselamatan Kapal, dan pejabat pemeriksa kelaiklautan Kapal Asing.
“Kami tidak ingin ada ekor di balik urusan, semua untuk NKRI . Jangan sampai laut kita tak terjaga. Semua barang di laut perlu kita monitor, kapal siapa yang punya, muatannya apa, semuanya,” tuturnya.
Merespons hal itu, Sekretaris Umum INSA , Budi Halim, menyampaikan sejumlah pertimbangan lain. Dia mengaku bahwa INSA keberatan dengan salah satu ketentuan yang menyebut kapal tidak boleh dapat surat berlayar bila tidak memasang AIS
“Padahal ada radio dan VTS yang lain. Yang berat lainnya, nakhoda yang tidak mengaktifkan AIS maka lisensinya akan dicabut. Ini artinya kapal tidak bisa berangkat,” tuturnya.
Terlebih, menurutnya, dalam ketentuan IMO, hanya kapal dengan panjang 15 meter ke atas, yang wajib dipasang AIS. Artinya, tidak diatur mengenai ketentuan GT.
” PM 7 tahun 2019, tentang pemasangan dan pengaktifan AIS di kapal berukuran 35 GT ke atas, rujukannya IMO juga sudah menghapus dan mengganti aturan yang dijadikan rujukan oleh PM 7 itu,” tandasnya.
Kendati demikian, bukan berarti INSA menolak secara mutlak penerapan regulasi ini. Dia menegaskan, INSA hanya keberatan pada sejumlah poin aturan.
” INSA pada prinsipnya setuju dan tidak keberatan, namun sangat bijaksana bila aturan ini bisa lebih ringan dan tidak memberatkan,” pungkasnya. (sdk)