Kanal24, Malang – Setiap detik yang kita habiskan dengan menggulir layar ponsel terasa begitu cepat berlalu. Tanpa disadari, waktu kita tersita dalam aktivitas scrolling tanpa henti. Fenomena ini menjadi salah satu perhatian utama dalam Kajian Umum Ramadhan (KURMA) yang diselenggarakan oleh Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya. Dalam sesi menjelang berbuka puasa, Prof. Anang Sujoko, S.Sos., M.Si., D.Comm, mengangkat tema puasa media sosial: bebas dari scroll tiada henti. Senin (03/03/2025).
Perangkap Scrolling dan Konsumerisme Digital
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Dengan kemudahan akses informasi, media sosial menawarkan berbagai manfaat, mulai dari sumber inspirasi hingga sarana branding personal. Namun, di balik itu, ada jebakan scrolling tanpa henti yang sering kali membawa kita ke dunia sendiri, mengabaikan interaksi nyata dengan orang-orang di sekitar.
“Pernahkah kita merasa menjadi korban dari continuous scrolling?” tanya Prof. Anang dalam kajiannya. Ia menggambarkan bagaimana di sebuah bandara, sekelompok orang yang saling mengenal justru terjebak dalam layar masing-masing tanpa ada percakapan. “Waktu terasa berjalan begitu cepat, namun interaksi sosial nyata justru terabaikan.”
Di sisi lain, media sosial juga mendorong perilaku konsumtif yang berlebihan. Dengan berbagai iklan yang muncul, kita sering kali membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, tetapi karena tergoda diskon atau tren. “Maka sekarang ada gerakan psikologi yang namanya You Only Need One (YONO). Kamu sebenarnya hanya butuh satu barang,” jelasnya. Sayangnya, banyak orang justru terjebak dalam siklus belanja impulsif hingga berujung pada penggunaan layanan paylater dan pinjaman online yang bisa menyebabkan krisis finansial.
Baca Juga Menemukan Allah di Balik Masalah
Dampak Media Sosial pada Kesehatan Mental
Tak dapat dipungkiri, media sosial memiliki sisi positif, seperti menjadi sumber informasi dan wadah ekspresi. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial dapat memicu berbagai dampak negatif pada kesehatan mental. Salah satu dampak yang paling umum adalah FOMO (Fear of Missing Out), terutama di kalangan Gen Z dan mahasiswa. Ketakutan untuk tidak mengikuti tren terbaru atau tidak bisa berpartisipasi dalam percakapan yang sedang viral bisa menyebabkan kecemasan berlebihan.
“Hari ini ada tren apa? Apa yang sedang viral? Kalau sampai tidak bisa mengikuti, takut dikatakan ketinggalan, jadi ada perasaan tertekan ketika kita tidak bisa mengikuti topik yang sedang tren” ujar Prof. Anang.
Selain itu, media sosial sering kali menjadi cermin bagi kehidupan orang lain yang tampak lebih sempurna. Perasaan iri dan membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain dapat menurunkan rasa percaya diri. “Kita sering membandingkan diri kita dengan pencapaian orang lain di media sosial. Kalau sudah berusaha maksimal tapi tidak tercapai, akhirnya jadi minder, stres, bahkan depresi,” tambahnya.
Sebaliknya, ketika seseorang merasa lebih unggul dari orang lain, ada risiko timbulnya kesombongan. Media sosial telah menjadi wadah untuk flexing, di mana orang memamerkan pencapaiannya demi pengakuan sosial. Kedua sisi ini, baik perasaan rendah diri maupun superioritas berlebihan, sama-sama berdampak negatif pada kesehatan mental.
Saatnya Digital Detox: Memulai Puasa Media Sosial
Dalam kajian tersebut, Prof. Anang mengajak para peserta untuk mulai melakukan digital detox atau puasa media sosial sebagai bentuk refleksi selama bulan Ramadan. Beberapa langkah sederhana yang bisa diterapkan antara lain:
- Batasi Waktu Penggunaan: “Cobalah tetapkan waktu tertentu untuk menggunakan media sosial dan hindari scrolling tanpa tujuan.”
- Unfollow Akun yang Tidak Memberikan Manfaat: “Kurangi konsumsi konten yang hanya memicu perasaan negatif atau tidak produktif.”
- Fokus pada Interaksi Nyata: “Luangkan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman secara langsung.”
- Gunakan Media Sosial untuk Hal Positif: “Manfaatkan media sosial untuk berbagi ilmu, inspirasi, atau membangun keterampilan baru.”
- Gunakan Waktu untuk Beribadah: “Fokuskan diri untuk mempertebal keimanan di Bulan Ramadhan.”
Puasa media sosial bukan berarti meninggalkan teknologi sepenuhnya, tetapi lebih pada mengendalikan penggunaannya agar tidak menguasai hidup kita. Dengan kesadaran penuh, kita bisa menjadikan media sosial sebagai alat yang bermanfaat tanpa harus kehilangan keseimbangan dalam kehidupan nyata. Ramadan menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan kembali hubungan kita dengan media sosial dan bagaimana kita menggunakannya secara lebih sehat dan bijaksana. (fan)