Oleh : Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB – [email protected]
Penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte atas perintah ICC menjadi headlines media internasional maupun nasional, sekaligus mengejutkan banyak pihak, sebab beberapa waktu yang lalu ICC juga mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Benyamin Netanyahu, tetapi tidak berhasil. Menurut saya, tidak berhasilnya menangkap Benyamin Netanyahu adalah karena tidak adanya keberanian dari peserta Statuta Roma untuk melakukannya, selain faktor Amerika dibelakangnya.
Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, ditangkap di Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila setelah kembali dari Hong Kong. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan surat perintah dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait perang melawan narkoba yang dilancarkannya selama menjabat sebagai Presiden.
Duterte, , dikenal karena pendekatan kerasnya terhadap kejahatan dan narkoba. Selama masa jabatannya dari 2016 hingga 2022, kebijakan “perang melawan narkoba” yang diterapkannya menyebabkan ribuan kematian, dengan perkiraan jumlah korban berkisar antara 6.000 hingga 30.000, sebagian besar dari kalangan miskin perkotaan. Kebijakan ini menuai kritik tajam dari komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia, yang menuduhnya melakukan pembunuhan di luar proses hukum.
Setelah penangkapannya, Duterte dipindahkan ke Belanda untuk menghadapi dakwaan di ICC yang berbasis di Den Haag. Penangkapan ini menandai pertama kalinya seorang mantan pemimpin Asia Tenggara ditahan oleh pengadilan internasional tersebut. Duterte sendiri mempertanyakan dasar hukum penangkapannya dan menegaskan bahwa tindakannya selama menjabat adalah untuk melindungi negaranya dari ancaman narkoba.
Putri Duterte, Wakil Presiden Sara Duterte, mengkritik penangkapan ayahnya sebagai tindakan yang tidak tepat dan bermotif politik. Dia menyebut penyerahan ayahnya ke pengadilan asing sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Filipina. Sara Duterte sendiri menghadapi proses pemakzulan atas tuduhan korupsi, keterlibatan dalam pembunuhan di luar proses hukum, dan ancaman terhadap Presiden Ferdinand Marcos Jr.
Penangkapan Duterte juga memicu perdebatan tentang kedaulatan nasional dan hubungan Filipina dengan komunitas internasional. Sementara beberapa pihak melihatnya sebagai langkah menuju akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia, sementara yang lain menganggapnya sebagai campur tangan asing dalam urusan domestik negara. Presiden Marcos Jr. menyatakan bahwa penangkapan tersebut “tepat dan benar” dan bukan tindakan penganiayaan politik, mengingat Filipina adalah anggota Interpol.
Penangkapan ini juga dapat mempengaruhi dinamika politik domestik Filipina, terutama menjelang pemilihan umum mendatang. Dengan Sara Duterte menghadapi proses pemakzulan dan ayahnya ditahan oleh ICC, basis pendukung keluarga Duterte mungkin mengalami perpecahan, yang dapat mempengaruhi hasil pemilu dan aliansi politik di masa depan.
Secara keseluruhan, penangkapan Rodrigo Duterte oleh ICC menandai momen penting dalam sejarah Filipina, dan tentu pertanda baik bagi penegakan hukum pidana internasional. Ini mencerminkan upaya komunitas internasional untuk menegakkan akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia dan menyoroti tantangan yang dihadapi negara-negara dalam menyeimbangkan kedaulatan nasional dengan kewajiban internasional. Bagaimana proses hukum ini berkembang akan berdampak signifikan pada masa depan politik Filipina dan persepsi global terhadap komitmen negara tersebut terhadap hak asasi manusia.
Lantas apa implikasi penangkapan Duterte ini ? Penangkapan ini menandai momen bersejarah dalam upaya penegakan hukum pidana internasional terhadap pemimpin negara yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Kasus ini tidak hanya berdampak pada sistem hukum Filipina tetapi juga memicu reaksi di tingkat domestik dan internasional. Implikasi penangkapan Duterte mencakup dampak politik dalam negeri, hubungan Filipina dengan komunitas internasional, serta masa depan penegakan hukum pidana internasional dan hak asasi manusia di Asia Tenggara.
Latar Belakang Penangkapan Duterte
Penangkapan Duterte dilakukan atas dasar tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diajukan oleh ICC. Selama masa kepemimpinannya, ia memerintahkan tindakan keras terhadap peredaran narkoba yang melibatkan pembunuhan di luar hukum oleh kepolisian dan kelompok bersenjata tidak resmi. Organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch telah lama mengkritik pendekatan ini sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Filipina menarik diri dari ICC pada 2019, tetapi pengadilan tetap melanjutkan penyelidikan terhadap kejahatan yang terjadi saat Duterte masih berkuasa. Penangkapannya di Manila setelah kembali dari Hong Kong menunjukkan bahwa pemerintah saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Ferdinand Marcos Jr., tidak menghalangi proses hukum internasional. Sikap Marcos ini merupakan preseden baik bagi setiap pemimpin untuk tidak melindungi kejahatan yang dilakukan oleh mantan Presiden sekalipun.
Penangkapan Rodrigo Duterte memiliki konsekuensi besar terhadap pengaruh politik keluarganya. Putrinya, Sara Duterte, yang menjabat sebagai Wakil Presiden Filipina, mengutuk tindakan ini sebagai “campur tangan asing” dan “penghinaan terhadap kedaulatan nasional.” Namun, dengan tuduhan korupsi dan kemungkinan pemakzulan yang dihadapinya, dinasti politik Duterte berada dalam posisi yang rentan.
Dukungan terhadap Duterte masih kuat di beberapa bagian Filipina, terutama di Davao City, tempat ia menjabat sebagai walikota selama lebih dari dua dekade. Namun, dengan dirinya kini berada dalam tahanan ICC, para pendukungnya mungkin kehilangan arah dan fragmentasi politik bisa terjadi.
Presiden Marcos Jr. menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mendukung ICC dapat memperkuat citranya di mata komunitas internasional sebagai pemimpin yang menghormati supremasi hukum. Di sisi lain, ia berisiko kehilangan dukungan dari kelompok pro-Duterte yang masih memiliki pengaruh besar di Filipina. Keputusan pemerintahannya untuk tidak menghalangi penangkapan Duterte dapat dilihat sebagai langkah pragmatis untuk menjauhkan diri dari warisan kontroversial mantan presiden tersebut.
Penangkapan Duterte menjadi preseden penting bagi penegakan hukum pidana internasional. Ini menunjukkan bahwa bahkan pemimpin yang sudah tidak menjabat tetap bisa dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang mereka lakukan. Langkah ini memberikan sinyal kuat kepada pemimpin lain di dunia bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan dibiarkan begitu saja, meskipun negara mereka menarik diri dari ICC.
Negara-negara di Asia Tenggara bereaksi dengan cara yang berbeda. Beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia menyatakan bahwa mereka menghormati proses hukum internasional tetapi menegaskan bahwa setiap negara harus memiliki hak untuk menyelesaikan masalah internalnya sendiri. Sementara itu, negara-negara dengan kepemimpinan otoriter, seperti Myanmar dan Kamboja, mengkritik tindakan ini sebagai bentuk “imperialisme hukum” oleh Barat.
Banyak keluarga korban kebijakan Duterte yang telah lama menunggu momen ini. Dengan penangkapannya, mereka berharap bahwa para pejabat polisi dan kelompok bersenjata yang terlibat dalam pembunuhan ilegal juga akan menghadapi konsekuensi hukum. Penangkapan ini juga dapat membuka jalan bagi reformasi sistem peradilan Filipina agar lebih transparan dan akuntabel.
Meskipun penangkapan Duterte memberikan harapan bagi korban, masih ada ancaman terhadap aktivis hak asasi manusia. Kelompok-kelompok pro-Duterte yang merasa marah dapat meningkatkan serangan terhadap mereka yang dianggap mendukung ICC. Pemerintah Filipina perlu memastikan bahwa keamanan aktivis tetap terjamin dalam situasi politik yang semakin memanas.
Proses hukum Duterte di ICC bisa memakan waktu bertahun-tahun. Jika terbukti bersalah, ia dapat menghadapi hukuman penjara seumur hidup. Namun, ada kemungkinan bahwa tekanan politik dari sekutunya di Filipina dapat menghasilkan kompromi tertentu, seperti hukuman yang lebih ringan atau bahkan pemulangan ke Filipina di masa depan.
Bagi Filipina, kasus ini akan menjadi titik balik dalam sejarah politiknya. Jika pemerintah terus mendukung supremasi hukum, ini bisa menjadi langkah maju bagi demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Namun, jika ada perlawanan politik yang kuat, negara ini bisa menghadapi ketidakstabilan yang berkepanjangan.
PENUTUP
Penangkapan Rodrigo Duterte adalah peristiwa bersejarah yang membawa implikasi besar bagi politik domestik Filipina, hubungan internasional, dan penegakan hukum pidana internasional dan hak asasi manusia. Ini adalah kemenangan bagi keadilan, tetapi juga membuka babak baru dalam perdebatan tentang kedaulatan nasional dan campur tangan hukum internasional.
Dengan keluarga Duterte yang menghadapi tekanan politik, Presiden Marcos Jr. harus mengelola situasi dengan hati-hati agar tidak memicu perpecahan yang lebih besar di dalam negeri. Sementara itu, dunia akan terus mengawasi bagaimana Filipina menangani kasus ini dan apakah langkah ini benar-benar membawa perubahan bagi keadilan dan demokrasi di negara tersebut (*)